Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tragedi itu datang lagi, silih berganti. Kapal motor Levina I, yang berlayar dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, terbakar di Kepulauan Seribu. Dan seperti kita saksikan di kepala berita pelbagai media massa, Levina memang tak sampai bersandar di Pangkal Balam, Bangka. Sebanyak 16 orang tewas dalam petaka ini.
Kita pun tersentak. Bukankah sehari sebelumnya terjadi pula kecelakaan Adam Air di Surabaya? Pesawat Boeing 737-300 ini melakukan ”pendaratan keras”, lalu bagian bawahnya patah. Tubuh pesawat lorong tunggal itu melengkung. Masih terbayang, betapa pesawat dari maskapai yang sama, jenis Boeing 747-400, lenyap dan diduga jatuh ke laut. Semua awak dan penumpangnya hingga kini belum ditemukan….
Pemerintah sudah melarang terbang tujuh Boeing 737-300 milik maskapai penerbangan itu. Ini langkah yang tepat, meski rasanya belum cukup. Majalah ini beranggapan bencana beruntun yang terjadi di marka laut dan udara, juga di darat, jelas menunjukkan ada yang salah dalam tata kelola transportasi publik di sini. Keselamatan penumpang masih diletakkan pada nomor yang kesekian.
Padahal sudah tersedia regulasi yang memadai. Sebut saja Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, yang meratifikasi Civil Aviation Safety Regulation, ada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, plus Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Masalahnya tinggal sejauh mana hukum bisa benar-benar ditegakkan.
Karena itulah Departemen Perhubungan tak boleh kenal lelah mengaudit secara ketat semua alat transportasi publik. Tindakan ini ditempuh untuk memastikan bahwa mereka memang layak berlayar atau laik terbang. Sejumlah kecelakaan pesawat yang terjadi tahun lalu—pecah ban, rusaknya alat navigasi pesawat, sampai patahnya as roda—disebabkan oleh lemahnya kontrol terhadap mereka.
Pemerintah juga perlu melakukan reevaluasi terhadap berbagai instrumen keselamatan transportasi. Fakta dari rangkaian kecelakaan, mulai kasus kapal Tristar, Senopati, Adam Air, kereta Bengawan, hingga terakhir kasus Levina, menunjukkan bahwa kondisi instrumen keselamatan tersebut sangat tidak memadai. Apalagi kapal Levina itu terbilang uzur, berumur 27 tahun.
Banyak sarana transportasi laut yang berada dalam keadaan ”gawat darurat”. Kebanyakan tidak dilengkapi dengan sarana pertolongan keselamatan, petunjuk untuk pertolongan diri sendiri, ataupun fasilitas lain. Padahal, untuk sebuah negara kepulauan, sarana laut adalah modal utama. Maka patutlah kita miris ketika yang terjadi adalah sistem pengangkutan yang asal-asalan.
Coba bayangkan, mengurus manifes saja ternyata tak becus. Satu versi menyatakan bahwa Levina mengangkut 275 penumpang, termasuk awak kapal, 31 unit truk, dan 8 kendaraan roda empat. Data berbeda disampaikan Administrator Pelabuhan Tanjung Priok Sato Bisri. Kata dia, seluruhnya ada 242 penumpang, termasuk awak kapal. Namun, menurut data terakhir: kapal Levina membawa 316 orang!
Tentu saja semua kabar buruk ini menjadi pekerjaan rumah yang urgen bagi pemerintah. Komite Nasional Keselamatan Transportasi mesti serius menyelidiki berbagai kecelakaan kapal dan pesawat akhir-akhir ini. Hasilnya bisa dipakai untuk mengevaluasi dan mengaudit transportasi kita. Dewan Keselamatan Transportasi Nasional yang baru saja dibentuk Presiden juga mesti segera bekerja keras untuk menyusun kebijakan penting ihwal jaminan keselamatan transportasi.
Kedua badan bentukan pemerintah ini harus membuktikan profesionalitasnya. Mereka diciptakan tentu bukan untuk basa-basi—apalagi gagah-gagahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo