MENGAPA merdeka? Saijah, dalam film Max Havelaar yang dibuat dari novel mashur Multatuli, tahu jawabnya: karena kerbau kesayangannya dirampas oleh Tuan Demang, dan karena ketika ia mencoba berontak pada keadaan, tentara Belanda -- penjaga ketertiban itu -- menembaknya. Mengapa merdeka? Orang ingin merdeka karena ia tahu apa artinya tidak-merdeka. "Tahu" di sini juga berarti "mengalami" dengan rasa sakit dan robek: bahwa tidak-merdeka adalah keadaan yang tiap saat bisa ditempeleng, dilucuti, dibentak-bentak, diusir, dihina, diserobot, didiskriminasikan, dilempar ke dalam sel, dan/atau dibunuh. Tidak mengherankan bila ada orang yang mengatakan bahwa kemerdekaan jadi sebuah impian yang berapi-api karena ia adalah sebuah kontras dari perbudakan. Dan perbudakan adalah sesuatu yang amat menyakitkan. Anehnya, retorik Agustusan kita tak banyak bicara soal kesakitan itu. Kita kini sering dengar soal perlunya mengisi kemerdekaan": seakan-akan kemerdekaan adalah sebuah ruang kantor yang kosong, mungkin necis, yang sudah disediakan oleh bapak kita dan tinggal diberi perabot atau hal-hal lain yang punya fungsi. Dengan demikian, ketidakmerdekaan kita bayangkan hanya sebagai keadaan sebelum itu -- keadaan belum punya ruang kantor necis dan kosong. Kita pun lupa pada Saijah dan kerbaunya yang dirampas. Kita seakan-akan tak mungkin membayangkan bahwa merdeka berarti menyatakan suatu gerak yang ingin lepas, suatu gerak yang geram, gelisah, untuk tidak jadi tokoh sang "inlander" kecil dalam karya Multatuli. Apa yang terjadi? Barangkali karena kita bicara "kemerdekaan" sekadar sebagai lawan kata dari "penjajahan", dan kita cenderung mengira bahwa "penjajahan" adalah soal kolonialisme, soal ekonomi, dan politik dalam skala besar. "Tidak-merdeka" akhirnya hanya sebuah abstraksi dari rasa lapar bersama dan tak kuasa kolektif, dengan segala seluk-beluknya. Barangkali ini kelanjutan dari argumen Lenin (yang diadaptasi oleh Bung Karno dan lain-lain) tentang imperialisme, bertahun-tahun yang silam. Atau barangkali pula ini kelanjutan dari insting kita untuk melihat penjajahan sebagai soal hubungan tidak sah antara dari "orang-luar" dan "bukan-orang luar". Atau barangkali karena dalam pengalaman masa lampau kita yang berabad-abad, juga di bawah penjajahan Belanda, kita sesungguhnya tak pernah mengalami bengisnya perbudakan yang benar-benar . . . Bukankah Saijah itu hanya tokoh fiktif karangan seorang Belanda yang agak majenun? Bukankah bila pribumi dilarang masuk ke kamar bola -- dan disamakan dengan anjing -- dan tak dilayani omong Belanda, itu soal "sepele"? Terutama bila dibanding dengan perlakuan terhadap budak dalam zaman Yunani dan Romawi dulu? Seperti di Yunani dan Romawi dan Amerika bagian selatan, di masyarakat-masyarakat lama di Indonesia perbudakan memang bukan barang asing. Di Toraja misalnya. Budak-budak itu diharuskan menunjukkan rasa hormat kepada tuannya, tak boleh menggunakan alat dapur yang diperuntukkan bagi sang tuan dan dianggap tak punya sopan-santun dan dihinakan. Dan para tuan yang memelihara budak itu pun menggunakan para hamba sahayanya untuk mengerjakan kerja tangan di sawah. Namun, pada umumnya bisa dikatakan bahwa perbudakan di Indonesia punya warnanya sendiri. Semar, Petruk, Gareng mengabdi kepada Arjuna, tapi peran mereka (setidaknya dalam wayang kini) agaknya bisa menjelaskan mengapa sejarah Indonesia tidak mengenal pemberontakan budak. Kisah Untung Surapati pada abad ke-17 lebih bercerita tentang perlawanan seorang buron. Si Untung (yang kemudian dijadikan novel Surapati oleh Abdul Moeis) memang budak belian, tetapi seorang novelis yang nasionalistis seperti Abdul Moeis pun sesungguhnya menunjukkan bagaimana budak belian itu diperlakukan baik oleh tuannya, sampai ia menghamili si nona Belanda di rumah besar di Batavia itu. Surapati, dengan demikian, bukanlah tokoh utama Spartacus karya Howard Fast yang difilmkan oleh Stanley Kubrick. Spartacus adalah kemarahan yang memuncak atas kesewenang-wenangan orang Romawi terhadap selapis manusia yang mereka tindas. Spartacus adalah sebuah kisah revolusi, yang jadi metafora bagi revolusi sosial di zaman modern. Dibandingkan dengan itu, Surapati terasa hanya sebuah kesalahpahaman: konflik kebetulan antara yang jadi hamba dan yang jadi majikan. Untuk apa kemerdekaan, bila demikian? Bila hubungan antara abdi dan yang diabdi, antara kawula dan gusti, diharapkan "manunggal", itu berarti bahwa para Saijah memang tak perlu resah. Mereka tak perlu takut kalau suatu waktu sang gusti bisa merampas miliknya, menempeleng wajahnya, menginjak kakinya, dan menerornya. Mereka tak perlu cemas. Mereka akan dilindungi. Mereka tak perlu loncat dari kapal pengangkut budak itu karena laut di sekitar -- kebebasan itu -- penuh ikan hiu. Dan merdeka berarti "tenteram". Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini