Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Halal dan haram, siapa menentukan

Instruksi presiden tentang makanan olahan, harus memenuhi syarat dari segi mutu, kesehatan, kesela- matan dan keyakinan agama. harus ada lembaga yang mengawasi etiket halal dan haram.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Instruksi Presiden tentang kemasan makanan. Selain soal kesehatan dan keamanan, juga diharuskan diberikan keterangan halal dan haramnya. BUNGKUS makanan sebentar lagi, bagi yang belum, akan bertambah dengan keterangan baru, yakni keterangan halal atau haram. Belum lama ini turun Instruksi Presiden pada tujuh menteri dan para gubernur di seluruh Indonesia untuk mengawasi makanan olahan: makanan yang diproses dalam industri, diberi merek, dan diedarkan. "Ini hadiah dari Presiden, yang diteken sebelum berangkat haji," kata H.S. Prodjokusomo, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Tidak hanya itu yang membuat kalangan Majelis Ulama senang. Semula, ketentuan ini direncanakan hanya berupa keputusan bersama tiga menteri: Agama, Kesehatan, dan Perindustrian. Tahu-tahu malah turun Instruksi Presiden, yang secara hukum lebih kuat kedudukannya. Meski belum jelas prosedur pelaksanaannya, yang diinginkan oleh instruksi itu sudah jelas. Yakni, makanan olahan yang beredar di masyarakat harus memenuhi syarat dari segi mutu, kesehatan, keselamatan, dan keyakinan agama. Dalam hal mutu, kesehatan, dan keselamatan, sebelum ada instruksi ini, pihak Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depertemen Kesehatan mestinya sudah menjaganya. Yang baru dari instruksi ini, tampaknya yang berkaitan dengan keyakinan agama. Cobalah simak, dalam sepuluh tahun terakhir ini, sudah dua kali terjadi kehebohan di masyarakat karena soal ini. Yang pertama terjadi pada awal 1984. Ketika itu, sejumlah mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung, meneliti bakso yang dijual di Bandung. Hasilnya, dari 58 pedagang bakso, 23 di antaranya menjual bakso sapi yang dicampur daging babi. Akibatnya, banyak orang terpaksa puasa bakso. Pedagang bakso tak bersalah ikut dirugikan. Heboh kedua pada 1988. Kala itu, seorang dosen teknologi pangan di Universitas Brawijaya, Malang, meneliti sejumlah makanan dari berbagai produk tertentu. Kesimpulannya, ada sejumlah makanan tertentu mengandung lemak babi. Namun, yang membuat heboh adalah adanya tangan tak bertanggung jawab yang memperpanjang daftar makanan yang mengandung lemak babi. Memang, tampaknya masalah halal-haram yang muncul hanya yang berkaitan dengan agama Islam. Apa boleh buat, orang Indonesia mayoritas memang muslim. Dalam hal yang nyata, maksudnya dalam hal daging babi, darah, bangkai, khamar, atau makanan dari hewan yang tidak disembelih, itu relatif mudah dikenali. Yang sulit, bila unsur-unsur itu lewat poses kimiawi terkandung pada produk makanan tertentu, yang hanya bisa diamati lewat laboratorium. Sebenarnya, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, lembaga yang bertugas mengawasi peredaran makanan, minuman, dan obat-obatan, sudah membuat ketentuan bagi perusahaan makanan dalam kaitannya dengan halal dan haram. Misalnya, untuk makanan yang mengandung babi, di bungkusnya mesti ditempeli keterangan atau gambar yang menyatakan ada kandungan babinya. "Jika tidak, kami tindak," kata Direktur Jenderal Slamet Soesilo. Bahkan, ada pula ketentuan, pada bungkus itu harus pula dicantumkan juga bahan-bahan yang dipakai membuat makanan itu. Jadi, misalnya tak ada babinya -- dan karena itu tak dicantumkan label haram -- tapi ternyata ada darahnya, mestinya umat Islam tak akan menyentuhnya. Yang kemudian jadi masalah, adakah keterangan pada bungkus itu bisa dipercaya. Kata Amin Aziz, Ketua Lembaga Penelitian Majelis Ulama Indonesia, semua keterangan itu masih dalam versi produsennya. Sebab, selama ini belum ada lembaga yang disahkan punya wewenang mengecek secara rutin benar tidaknya etiket halal dan haram itu. Tampaknya, kesahihan label halal-haram inilah yang perlu segera ditangani. Sebab, meski suatu makanan sudah mencantumkan keterangan halal, misalnya, orang masih bisa sangsi. Contohnya, yang terjadi pada mi instan Indomie. Sejak diproduksi pertama kali pada 1977 produk ini sudah mencantumkan label halal. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, minya memang tidak mengandung unsur-unsur dari babi. Tapi, begitu muncul kasus lemak babi pada 1988, banyak pihak di masyarakat jadi ragu juga. Ragu apakah selalu ada pengecakan pada produk itu. Maka, Indomie diteliti kembali oleh Majelis Ulama Indonesia yang bekerja sama dengan direktorat jenderal tersebut. Dan hasilnya, tetap halal. Masyarakat pun tenang. Itu sebabnya, Instruksi Presiden tentang makanan ini baru bisa berjalan dengan baik, kata Zaim Saidi dari Yayasan Lembaga Konsumen, bila ada lembaga yang diberi wewenang menjalankannya. "Kalau tidak, ya percuma," kata Zaim. Selanjutnya, setelah lembaga dan mekanisme pengawasan itu ada, dan berjalan secara rutin, yang penting lagi adalah sanksi. Buat apa ketentuan tanpa sanksi? Bisa dicontoh Malaysia. Sejak 1975, bagi produsen makanan Malaysia yang mencantumkan keterangan halal pada produknya, tapi setelah diteliti ternyata produk itu mengandung bahan yang tidak halal, ada dendanya. Bagi perorangan dikenakan denda 100 ribu dolar Malaysia (sekitar Rp 70 juta), atau penjara maksimum 3 tahun. Untuk perusahaan, dendanya 250 ribu dolar sampai 300 ribu (antara Rp 175 juta dan Rp 210 juta). Yang belum jelas, adakah bagi agama lain akan juga diperhatikan. Umpamanya bila ada orang Hindu yang mengharamkan daging sapi. Julizar Kasiri, G. Sugrahetty Dyan K., dan Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus