SEORANG peneliti asing bertanya kepada saya, ''Apakah sistem ekonomi Indonesia lebih bersifat sosialisme atau condong ke arah ekonomi pasar?'' Dalam pergaulan intelektual seperti ini, sulit menjawab pertanyaan yang mengarah pada keingintahuan bekerjanya sistem ekonomi secara de facto. Jika saya menjawab ''sistem ekonomi pasar'', realitas yang kita hadapi tidak sesuai dengan formulasi jawaban ini. Manuver monopoli, proteksi berlebihan, dan peran negara yang dominan menyanggah jawaban tersebut. Tapi, di segmen-segmen ekonomi lapisan bawah, ekonomi pasar berkembang cukup baik. Saya tidak bisa juga menyatakan sistem ekonomi ini condong ke arah sosialisme karena peranan negara cukup dominan, khususnya di sektor-sektor manufaktur besar dan padat modal. Tapi Hal Hill, berdasarkan data-data sensus tentang piramida manufaktur di Indonesia, mencoba memformulasikannya sebagai sistem ekonomi yang bersifat upward socialism and downward capitalism. Tentu pernyataan ini tidak bersifat ideologis, tetapi hanya sebagai telaah ilmiah untuk menentukan ciri sebuah sistem ekonomi secara de facto. Formulasi yang barangkali lebih tepat adalah seperti yang pernah diistilahkan Hernando de Soto sebagai sistem ekonomi yang berwatak merkantilisme. Dalam sistem yang bersifat merkantilistik, de facto, akses, peluang, dan kesempatan ekonomi hanya bergulir di lapisan elite kecil, yang dekat dengan kekuasaan. Ciri sistem yang merkantilistik adalah ketertutupan, yang selalu dijaga secara berhati-hati di bawah perlindungan sebuah status quo yang mapan dan ketidakjelasan hukum yang disengaja. Sekali ketertutupan ini terusik, kepentingan ekonomi akan lenyap dari genggaman kaum merkantilis yang berlindung di dalamnya. Dasar-dasar sistem seperti inilah yang mencelakakan nasib sejumlah besar pelaku ekonomi kecil dan masyarakat banyak, yang tak pernah ketetesan sumber-sumber ekonomi. Potensi kewirausahaan dan keuletan sejumlah besar pelaku ekonomi di lapisan bawah tak kalah hebatnya dibandingkan dengan wiraswasta besar. Tapi, karena sistem yang tertutup dan diproteksi, potensi itu tak tumbuh dan berkembang. Di atas lapisan pelaku ekonomi informal yang berjubel, marjinal, dan subsistem, berdiri beberapa gelintir lapisan elite ekonomi terbatas yang menikmati sumber-sumber ekonomi secara berlebihan. Merkantilisme berarti negara yang dikungkung birokratisasi dan hukum, yang lebih mengutamakan redistribusi kekayaan nasional atas dasar kroniisme dan kekerabatan ketimbang peningkatan produksi dan orientasi kesejahteraan nasional. Sebaliknya, kekuasaan pun bergantung pada kiprah sekelompok kecil elite tersebut suatu bukti adanya ''kolusi mutualisme'' yang menguntungkan kedua belah pihak. Karena itu, sistem tertutup seperti ini sangat dijaga ekstrakeras, bahkan, jika perlu, dipertahankan secara habis-habisan dengan manuver politik. Proses politik kemudian diterjemahkan sebagai suatu mekanisme alokasi kekuasaan dan kepentingan ekonomi, yang menstimulasi setiap gerak dan napas dari kegiatan politikus dan birokrat. Model pemerintahan seperti ini senantiasa menjaga ketidakjelasan hukum atau menciptakan hukum atas dasar kepentingan sekelompok kecil, sekaligus mendiskriminasikan kepentingan rakyat banyak. Alasan di baliknya tak lebih dari orientasi kepentingan terbatas, yang berada di dalam lingkaran sistem merkantilisme ini (redistributive combines). Sistem merkantilisme tidak saja melibatkan monster kekuasaan, tapi juga kaum pengusaha katrolan, yang bekerja di balik lindungan hukum. Pelaku ekonomi rakyat tidak dapat berkembang menjadi formal dan besar karena biaya formalitas yang mahal. Sistem seperti ini bukan saja tak bermoral, tapi juga sangat tak efisien karena bertentangan dengan hukum ekonomi yang rasional. Setiap sudut kegiatan ekonomi formal bertaburan distorsi, bias, dan monopoli. Negara menjadi instrumen untuk melakukan redistributive combines ini sehingga secara efektif menjangkau kekuasaan monopoli untuk berbagai kegiatan ekonomi. Yang terus ingin dipertahankan di dalam sistem yang merkantilistis adalah bentuk pertautan yang ketat antara birokrasi dan usaha-usaha swasta monopoli. Negara dimainkan sebagai instrumen untuk melindungi berbagai kepentingan yang bertebaran di sekitar kehidupan birokrasi formal. Maka, untuk melindungi berbagai kepentingan tersebut, tidak bisa dihindari bahwa birokrasi harus menjangkau banyak hal dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Untuk menghindari berkembangnya merkantilisme, pemerintah di negara sedang berkembang perlu mendahulukan proses peningkatan produksi sebelum redistribusi kekayaan nasional dilakukan. Untuk bisa melakukan produksi kekayaan yang efisien, diperlukan gerakan negara yang tak merusakkan gerak dan kegiatan ekonomi masyarakat. Pemerintah harus memberikan hak kepada warga negaranya secara proporsional, hak untuk memperoleh kerja-kerja yang produktif. Misalnya, proteksi di hulu, yang selama ini sengaja dilakukan, secara perlahan akan dilepaskan karena akan berdampak negatif terhadap industri hilir (Pidato Kenegaraan Presiden, 16 Agustus 1993). Jika tidak, sistem ekonomi secara keseluruhan, yang juga secara sengaja diarahkan ke luar (outward looking), akan ketularan penyakit inefisiensi di hulu. *) Wakil Direktur Bidang Riset LP3ES, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini