Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARKEOLOGI merupakan ilmu tentang kehidupan manusia di zaman purba, dan para pakarnya disebut arkeolog. Mereka melakukan penggalian di berbagai situs purbakala untuk mengumpulkan bukti kehidupan masa lampau. Dengan mempelaÂjari berbagai artefak dan mengumpulkan informasi dari masyarakat, para arkeolog lalu mencoba menggambarkan pola kehidupan masyarakat di situs itu. Misalnya, teknologi apa yang mereka gunakan, dan bagaimana struktur sosialnya.
Berkat kerja keras para arkeolog, kita dapat mengetahui bagaimana peradaban masa lampau berlangsung. Juga tentang perkembangan manusia dan kebudayaannya, termasuk zaman keemasan dan kepunahannya. Para arkeolog inilah seharusnya yang melakukan penelitian di Gunung Padang, sebuah tempat pemujaan yang cukup besar dan masih menyimpan banyak misteri di Jawa Barat. Sayangnya, ekskavasi ternyata dilakukan lebih dulu oleh kalangan awam, setidaknya di bidang arkeologi.
Tim Katastropik Purba, yang melakukan penggalian itu, umumnya geolog. Mereka sebetulnya mempunyai niat baik: meneliti kaitan bencana alam besar dan peradaban di Nusantara. Kebetulan Gunung Padang merupakan satu dari beberapa situs purbakala yang terletak di kawasan sesar Lembang dan Cimandiri, kawasan yang kerap menjadi sumber gempa besar di Indonesia.
Temuan awal mereka memang membuat para geolog muda itu bergairah. Tempat pemujaan itu diduga berukuran raksasa, tinggi sekitar 100 meter dan luas 15 hektare—atau sepuluh kali Candi Borobudur. Bahkan hasil pemindaian dengan radar dan pengukur listrik menyiratkan kehadiran ruang di bawah tanah yang bentuknya seperti buatan manusia, dengan usia diperkirakan ribuan tahun. Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam yang menjadi motor tim, malah yakin, bila lapisan tanah di atasnya dibersihkan, akan ditemukan bangunan besar buatan manusia yang mengandung logam.
Dugaan Andi dan Tim Katastropik Purba itu masih jauh dari pasti. Sebagian pakar geologi dan arkeologi di luar tim ini malah yakin ruang di bawah tanah itu hasil kegiatan alam biasa. Hanya susunan batu di atasnya yang memang diatur manusia purba. Pusat Arkeologi Nasional pun telah memetakan situs purbakala ini sejak 33 tahun silam. Namun, entah mengapa, tak dilakukan penelitian mendalam tentang tempat pemujaan ini. Mungkin karena tak pernah ada anggaran yang memadai dari pemerintah.
Kini, dengan keberhasilan Andi Arief membuat Presiden Susilo Bambang YuÂdhoyono tertarik pada situs Gunung Padang, kucuran anggaran untuk menelitinya mungkin akan mengalir deras. Majalah ini berharap pemerintah mempercayakan para arkeolog menjalankan penelitian mereka sesuai dengan prosedur ilmiah. Jangan lagi ada intervensi memalukan seperti pada 2002, ketika Menteri Agama Said Agil Husin al-Munawar memerintahkan penggalian prasasti Batutulis di Bogor karena yakin di bawahnya tersimpan cadangan emas senilai Rp 1.500 triliun hanya atas dasar mimpi belaka.
Catatan ini dilontarkan karena bau takhayul terasa kuat mengiringi penelitian situs oleh Tim Katastropik Purba. Terutama dari keterlibatan Yayasan Turangga Seta, yang secara terlalu dini mengklaim telah menemukan piramida di Sadahurip berdasarkan kekuatan mistik. Keyakinan ini tentu tak bermasalah jika dibatasi hanya di ruang privat. Tapi akan jadi lelucon tak lucu jika dijadikan faktor dalam penyusunan kebijakan publik di negeri ini. Berikanlah kebebasan kepada para arkeolog untuk menjalankan tugas dengan profesional.
Dengan kekuatan ekonomi saat ini, pemerintah memang sudah saatnya membenahi berbagai situs purbakala yang ada. Generasi muda republik ini sepatutnya mengetahui perkembangan peradaban masa lampau dan kaitannya dengan berbagai bencana alam yang cukup sering terjadi. Pengalaman para leluhur itu mudah-mudahan akan membuat mereka semakin pandai menjalankan kehidupan yang serasi dengan alam.
Tidak terlalu penting apakah peradaban purba di Gunung Padang itu amat tinggi atau biasa saja. Yang lebih diperlukan adalah mendapatkan informasi yang sebenarnya, berdasarkan fakta yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo