Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS hakim Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono mengingatkan kita lagi pada sederet masalah serius yang membelit pengadilan tindak pidana korupsi. Seleksi hakim karier dan nonkarier tampak amburadul, sehingga menghasilkan para hakim berintegritas buruk. Lemahnya pengawasan juga membuat mereka leluasa membebaskan para koruptor.
Mengherankan jika sosok seperti Kartini dan Heru sampai bisa lolos dari seleksi Mahkamah Agung. Di Semarang, kedua hakim nonkarier alias ad hoc berlatar belakang pengacara ini tertangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka diduga menerima suap dari pihak yang sedang beperkara. Kartini adalah hakim pengadilan antikorupsi di kota itu. Adapun Heru diperkirakan merangkap jadi makelar kasus, karena ia bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pontianak.
Mekanisme rekrutmen hakim nonkarier semestinya segera diperbaiki. Kendati tidak mudah mencari calon hakim karena minimnya peminat, proses seleksi tak boleh dilonggarkan. Mahkamah juga perlu menjamin kesejahteraan hakim ad hoc sehingga profesi ini punya daya tarik bagi orang yang berintegritas. Mereka mungkin enggan menjadi hakim nonkarier lantaran profesi ini kurang diperhatikan, misalnya saja sering terlambat digaji ketika pengadilan antikorupsi baru dibentuk di daerah.
Proses seleksi yang lemah sebetulnya juga terjadi pada hakim karier. Nyatanya, hakim karier yang dikirim Mahkamah ke pengadilan antikorupsi bukanlah hakim yang terbaik dan jujur. Jangan heran bila banyak sekali koruptor yang dibebaskan oleh pengadilan antikorupsi di daerah. Pengadilan Tipikor Bandung, misalnya, membebaskan Bupati Subang Eep Hidayat dan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Pengadilan Tipikor Samarinda juga pernah melepas 14 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Kartanegara. Pengadilan antikorupsi di kota lain, seperti Surabaya dan Semarang, tak jauh berbeda.
Mahkamah Agung tak boleh lepas tangan terhadap kabar buruk ini. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, lembaga itu pula yang mengatur penentuan komposisi jumlah hakim ad hoc dan hakim karier yang menangani perkara di pengadilan khusus ini. Bersama dengan Komisi Yudisial, Mahkamah juga berwenang membuat kode etik yang memagari perilaku para hakim.
Memperketat pengawasan hakim jauh lebih penting ketimbang mengkambinghitamkan hakim ad hoc, apalagi mempersoalkan keberadaan pengadilan antikorupsi. Sama seperti ide di balik pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi, semua ini merupakan terobosan karena lembaga penegak hukum konvensional tak berdaya. Gagasan ini tidak bisa dianggap gagal karena Komisi bersama pengadilan antikorupsi—terutama Pengadilan Tipikor Jakarta—telah mengirim ratusan koruptor ke penjara.
Kita juga bisa menerapkan resep keberhasilan Pengadilan Tipikor Jakarta untuk pengadilan serupa di daerah. Pengadilan antikorupsi di Ibu Kota amat berhasil antara lain karena peran besar KPK. Komisi ini sekaligus berfungsi sebagai penuntut dalam perkara yang disidiknya. Adapun di daerah, kejaksaanlah yang berperan besar karena selama ini belum ada perwakilan Komisi di provinsi. Kasus yang ditangani Pengadilan Tipikor Jakarta umumnya juga menjadi sorotan publik sehingga hakim tak berani bermain mata.
Serangan berlebihan terhadap hakim ad hoc dan keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi malah mencurigakan. Jangan-jangan semua itu merupakan agenda terselubung para koruptor yang tampaknya ingin pengadilan ini dienyahkan. Bila para pemimpin negara ini benar-benar ingin memerangi korupsi, pilihannya bukan mengerdilkan pengadilan antikorupsi dan KPK. Perwakilan komisi ini justru perlu segera dibuka di daerah, berbarengan dengan upaya membenahi pengadilan antikorupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo