PERTAMINA memulainya di Pangkalanbrandan. Dan pertengahan bulan lalu, 15 Juni, genaplah seabad industri minyak di Indonesia. Itu berawal dari kejelian Aelko Ch. Zylker, administrator perkebunan tembakau di Langkat, Sumatera Utara. Di petang yang renyai itu Zylker, yang selang cari angin dengan ditemani seorang pembantu, singgah di sebuah pondok, dan melihat seseorang membawa obor. Tuan ini tertarik: obor itu bisa menyala panjang sekali. Si pembawa obor menjelaskan, sebelum obornya disulut, ia lebih dulu mencelupnya ke dalam sebuah sumur yang berlumpur. Ia jelaskan juga lokasinya. Karena nafsu ingin tahunya sudah memuncak, si meneer sore itu juga langsung ke sana. Tempat yang dikunjungi Zylker sore itu kelak dikenal sebagai Telaga Said - tapi Pertamina menamainya Telaga Tunggal I, jaraknya sekitar 15 km dari Kota Pangkalanbrandan. Zylker kemudian menghadap sultan Langkat di Tanjungpura. Pada 8 Agustus 1883, mereka menandatangani konsesi untuk menggali minyak di telaga itu. Setelah dua tahun pontang-panting melakukan boring, barulah Zylker menikmati hasil jerih payahnya. Untuk pertama kalinya, 15 Juni 1885, ia mengomersialkan produksi galiannya - dan tanggal ini pula yang dipilih Pertamina sebagai pancang pertama seabad perminyakan di Indonesia. Dari konsesi ini, sultan Langkat memperoleh syafakat: 30 sen untuk minyak mentah yang masih kotor, 15 sen untuk yang bersih, untuk tiap hektoliter. Pada 1890 konsesi di tangan Zylker berpindah kepada Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Explotatie van Petroleum Nederland Indie. Sebagai direkturnya adalah De Gelder. Dan Raja Willem III meniup angin kepadanya untuk mengembangkan konsesi minyak. Koninklijke menanam modalnya di Indonesia 1,3 juta gulden, terdiri dari 1.300 saham. Nama maskapai ini pada 1897 diubah menjadi N.V. Koninklijke Nederland Petroleum Maatschappij. Direkturnya, Gelder, diganti Kessler. Modal perusahaan ditambah tiga juta gulden berbentuk saham biasa, dan 1,5 juta gulden berwujud saham prioritas. Menurut penelitian Dr. Rombouts dari Amsterdam dan Dr. Engler, asal Jerman, minyak murni Telaga Said lebih baik mutunya dibanding yang sudah disedot di Amerika Serikat dan Rusia. Dari telaga ini pula, Koninklijke, pada waktu itu, menangguk untung 371 ribu gulden. Pada 1892 dibangun pabrik berkapasitas tiga ribu ton sehari di Pangkalanbrandan - dua tahun setelah selesainya dapur Wonokromo di Jawa Timur. Sedangkan pada 1898, pelabuhan ekspor minyak, pertama di Indonesia, didirikan di Pangkalansusu, Sum-Ut. Bangunan ini siap setelah empat tahun refenery di Cepu dan Balikpapan rampung. Munculnya Indische Mijnwet pada 1899 mendorong perusahaan-perusahaan besar mencari ladang-ladang minyak di Indonesia. Dalam hal bagi-bagi rezeki, yang diperoleh sultan Langkat dari hasil konsesinya memang berbeda dengan yang didapat orang di Aceh Timur. Kedudukan uleebalang di Aceh waktu itu terikat oleh korteverklaring - perjanjian panjang yang harus tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Kendati demikian, di antara uleebalang di Aceh yang terkaya, menurut Anthony Reid dalam The Blood of the People, 1979, adalah uleebalang Peureula di Aceh Timur, yang di daerahnya banyak bersarang minyak. Pada 1907 Koninklijke berpatungan dengan Shell dari Inggris. Pembagiannya 60:40. Dari patungan ini, lahir dua perusahaan baru: N.V. De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), yang mengurus eksplorasi dan produksi, dan Anglo Saxon Petroleum Coy, Ltd., yang bertanggung jawab dalam pengangkutan dan pemasarannya. Kenikmatan panjang yang direguk BPM dan kawan-kawan memang tak terkira-kan. Celakanya, zaman susah kemudian lahir ketika Jepang mendarat di Indonesia pada 1942. Pangkalanbrandan yang juga menyuling minyak eks Aceh Timur lalu dibakar Belanda. Setelah mengalami perbaikan berat, tindakan bumi hangus kedua terjadi pula pada medio Agustus 1947 - pada Agresi I. Sejak itu, nasib tambang minyak Sum-Ut dan Aceh seperti tak bertuan - dan jadi abu lagi pada Agresi II. Selepas perjanjian Roem-Royen, tambang minyak eks BPM itu, 1948, dipimpin trio Teungku Amir Husin Al-Mujahid, Abdurahman, dan Djohan. Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Mayor Jenderal Teungku Daud Beureueh, mengangkat mereka untuk membenahi dan mengamankan tambang dari rongrongan buruh PKI. Pada perundingan dengan BPM, September 1949, di Medan, Palembang, Plaju, Jakarta, dan Yogya, rombongan TMSU/Aceh yang dipimpin Mujahid menolak menyerahkan tambang minyak itu. Padahal, tambang di tempat-tempat lain telah dikembalikan kepada BPM. Setelah Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara, 1950, Gubernur Mr. S.M. Amin mengukuhkan kembali trio ini. Perbaikan yang dilakukan Mujahid bersama kawan-kawannya telah menggerakkan kembali penyulingan Pangkalan-brandan, Rantau Kualasimpang, dan mengaktifkan 175 sumur di Aceh dan Langkat. Bahkan, tambang minyak itu sudah berproduksi lima ribu ton sehari. Tetapi, pada 1950-1952, gaji 830 karyawan sempat tak terbayar sampai 28 bulan. "Saat itu seluruh hasil minyak telah dipergunakan untuk keperluan tentara dan pihak sipil. Dan pembayarannya berupa beras ala kadarnya," ujar Mujahid. Karena perhatian pemerintah pusat hampir tak ada kepada TMSU/Aceh, di tambah munculnya rongrongan Perbum yang berbau PKI dan mendapat angin dari Nirwonoyudo, pegawai tinggi Kementerian Perekonomian yang diperban-tukan di sana, pada 12 Mei 1954 Abdurahman membubarkan TMSU/Aceh - sebagai pernyataan tidak mengakui lagi peranan Nirwonoyudo. Sebagai gantinya, dibentuklah PT Eksplorasi Tambang Minyak Sumatera Utara (ETMSU). Bukan berarti kesulitan sudah lenyap. Malah, defisit terus melilit. Pada 1957 Abdurahman menghadap KSAD Jenderal A.H . Nasution. Berdasarkan keputusan KSAD, dengan suratnya bernomor KPTS/ PM/072/57 tanggal 7 Oktober 1957, PT ETMSU dibubarkan diganti dengan PT Permina (Perusahaan Minyak Nasional), yang dipimpin Kolonel dr. Ibnu Sutowo. Pertamina kemudian beralih menjadi Pertamina. Ke mana Al-Mujahid? Oleh persoalan dileburnya Provinsi Aceh menjadi keresidenan dalam Provinsi Sumatera Utara pada 1953, ia meninggalkan TMSU. Mujahid kemudian menjadi salah satu "dwitunggal" DI/TII Aceh bersama Daud Beureueh. Dan, selama ia di hutan sampai turun kembali ke pangkuan RI, anak buahnya dicegahnya membumihanguskan tambang minyak yang pernah dipimpinnya itu. "TMSU/Aceh merupakan embrio Pertamina sekarang, dan saya pernah sebagai pemimpin umumnya. Saya tidak mendapat apa-apa dari perusahaan negara ini," ujar Al-Mujahid dalam The Indonesia Times, 3 Mei 1976. Ia meninggal pada 10 Mei 1982 di Medan, dalam usia 82.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini