SELAMA dua tahun terakhir, laut di Segara Anakan, dekat Pulau Nusakambangan, tidak seramah dulu. Ikan seakan musnah. Hal ini menggelisahkan Sariman, 25, nelayan dari Cilacap. "Jaring saya isinya cuma blader," keluhnya. Orang Cilacap menyebut blader untuk sludge, kotoran minyak dari tanker. Dan bukan hanya ayah dua anak ini hingga pekan lalu - yang mengeluh. Puluhan nelayan lainnya, sering kali, juga pulang dengan tangan hampa. Padahal, sekali melaut bisa makan ongkos sampai Rp 400 ribu. Kalau ada yang mendapatkan ikan, hasil iualnya tak bisa menutupi ongkos melaut. Karena itu, banyak nelayan tinggal di darat, menganggur. Narsim, ketua KUD Mino Saroyo, Cilacap, menyatakan bahwa 60% nelayan kawasannya kini tak berpenghasilan. Penduduk kota yang jadi pusat pertumbuhan Jawa Tengah bagian selatan ini sekitar 1,5 juta orang. Pada tahun 1980, ada 2.400 nelayan pengusaha dan 2.500 nelayan buruh. Tahun 1981, hasil tangkapan ikan mereka 600 juta kg. Tahun lalu, hasil tangkapan anjlok sampai 50%. Yang kini jadi persoalan, mengapa ikan-ikan tak kerasan lagi di pantai dan laut di Cilacap itu? Tri Winarno, sekretaris KUD menduga bahwa penyebab paceklik adalah musim yang tak menentu. Tapi para nelayan punya dugaan lain. Mereka menuding kilang minyak Pertamina sebagai pencabut rezeki mereka. Kilang dengan kapasitas 200 ribu barel per hari itu resmi dibuka pada 1983. Akibatnya, pelabuhan semakin ramai dan bising. Kebisingan inilah, menurut dugaan para nelayan, yang telah mengusir ikan dari perairan Cilacap. Dan, ini. Kapal tanker MT Cendrawasih milik Pertamina yang melayani kilang ini beberapa waktu lalu kedapatan oleh para nelayan sedang membuang limbah di perairan Cilacap. Ini bukan omong kosong. Sebab, orang yang ikut membuang mengakuinya. "Saya dan teman-teman membuang sekitar 700 karung," kata Sawal Haryanto, yang ikut bekerja sebagai pembersih di tanker berbobot mati 350 ribu ton itu. Teman Haryanto mengatakan, ketika karung dibuang ke laut, air laut memang tidak berubah warnanya. Tapi setelah itu, air tertutup lapisan minyak. Ada yang bilang, karung-karung limbah itu dibuang ketika Cendrawasih melewati Srandil, hanya sekitar tujuh mil dari Cilacap. Maka, 90-an nelayan mengajukan protes. Kata mereka, nelayan dari jalur II - yaitu mereka yang karena jenis jaringnya bisa berlayar sampai jarak 20 mil - jalanya berisi blader melulu. Lebih-lebih nelayan jalur I, yang cuma menjala di bibir pantai (tiga mil dari darat), mereka tak bisa menangkap seekor ikan pun. DPRD Cilacap cepat tanggap. Beberapa waktu lalu lembaga ini memanggil pimpinan Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap, J. Pitono, untuk dengar pendapat. Tapi Pertamina menyangkal keras. Sebagai bukti bahwa pembuangan limbah itu dilakukan di laut lepas sesuai dengan peraturan, Pertamina mengirim kawat ke Cendrawasih yang sedang docking di Singapura. Jawaban kawat, lokasi pembuangan sludge sekitar 60 mil dari Tanjung Karangbata, di sebelah selatan Pulau Nusakambangan, sesuai dengan peraturan. Lagi pula, sludge atau kotoran minyak yang oleh orang Cilacap disebut blader itu tidak dibuang begitu saja. Sebelum dimasukkan ke karung, sludge diberi campuran bahan kimia Neos SB 300. Dengan demikian, kotoran minyak akan menjadi lebih berat ketimbang air hingga tak mengambang di permukaan laut. Bahkan, kotoran itu akan bereaksi, terurai menjadi zat-zat yang bisa jadi makanan ikan atau biomassa laut lainnya. Kerak endapan kotoran minyak cuma 18 ton, dan setelah dimasukkan karung jumlahnya cuma 600 karung. Sementara itu, kepala Bagian Teknologi Rekayasa Pertamina Cilacap, Ir. Sayidina menyatakan bahwa Rp 70 juta disediakan untuk menanggulangi pencemaran. Sedangkan data pemeriksaan harian sejak Oktober 1984 sampai Maret 1985 untuk kandungan minyak dalam air buangan di sekitar perairan Cilacap rata-rata hanya 4 ppm. Nilai ambang batas yang ditetapkan 25 ppm. Ramainya soal ini menyebabkan tim Teknis Pesisir dan Lautan dari Kantor KLH di Jakarta turun lapangan. Setelah mengadakan peninjauan, menurut ketua tim, Henk Uktolseya, M.Sc., belum jelas benar penyebab langkanya ikan di perairan laut Cilacap kini. Apakah akibat adanya pembuangan sludge-yang tidak memenuhi syarat, ataukah ada faktor lain. Sebab, sekarang memang sedang masa paceklik ikan yang merupakan kejadian rutin setiap 4-8 tahun sekali. "Nelayan di Laut Jawa juga sedang paceklik," ujarnya. Tapi nasib nelayan dan lingkungan mereka di Cilacap bukan baru sekali ini diributkan. Tahun lalu, masalah ini dibahas dalam simposium kajian lingkungan hidup di sana. Menurut simposium, lingkungan pantai Cilacap memang sudah gawat. Para ahli lingkungan dalam simposium itu mengatakan, sudah 24 ribu ha vegetasi bakau yang, antara lain karena tumpahan minyak, musnah. Adapun tim Teknis Pesisir dan Lautan dari Kantor KLH kini sedang meneliti kadar minyak air laut di Cilacap itu. Akan diteliti seberapa berbahaya sudah kadar pencemaran air laut. Sementara menunggu hasil penelitian, sejumlah nelayan di Cilacap tetap menganggur. Sesuatu yang bisa pula mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan, yakni lingkungan sosial. Toeti Kakiailatu Laporan Slamet Subagyo (Yogyakarta) & Praginanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini