Kampanye pemilihan umum amat mahal, biayanya besar, sumber dananya tidak semua terang asal-usulnya. Berapa jumlah uang yang dikumpulkan, berapa belanja yang habis, tak diketahui pasti. Sebetulnya semua hal yang menyangkut dana kampanye setiap peserta pemilu wajib dilaporkan, dengan jujur dan terbuka. Jika tidak dipatuhi, kecurangan, ketidakadilan, korupsi, dan akhirnya politik uang amat mudah terjadi. Barangkali memang sudah terjadi, rasanya.
Pada pemilihan umum yang lalu, laporan beberapa partai politik tentang asal sumbangan ternyata ada yang tidak jelas, ada yang tidak dicatatkan, bahkan ada penyumbang palsu yang didaftarkan. Dari beberapa pengecekan acak yang dilakukan, ada nama yang dicantumkan sebagai donatur, tapi menyangkal pernah menyumbang. Ada juga penyumbang dalam daftar yang alamatnya dibuat-buat, karena ternyata tak pernah ada dalam peta. Semua ini baru petunjuk, tapi sudah bercerita berjilid-jilid banyaknya.
Menurut undang-undang, tiap sumbangan di atas Rp 5 juta harus dilaporkan identitas lengkap penyumbangnya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maksudnya, selain lengkap haruslah benar; karena undang-undang juga melarang peserta pemilihan umum menerima sumbangan dari penyumbang yang identitasnya tak jelas, dengan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar. Dari gejalanya, tampaknya penyimpangan penerimaan dana ini akan diulangi lagi dalam kampanye pemilihan presiden sekarang ini. Mungkin dalam bentuk lebih parah.
Kita bukan tidak sabar menunggu. Seluruh laporan dana kampanye setiap peserta pemilu, penerimaan dan pengeluarannya, wajib diserahkan kepada akuntan publik untuk diperiksa selambat-lambatnya 60 hari sesudah tanggal pemungutan suara. Berarti pekan lalu laporan keuangan semua partai sudah harus siap dan dimasukkan. Audit harus selesai dalam sebulan. Lalu hasilnya dilaporkan ke KPU. Kita hanya ingin mengingatkan agar ketentuan ini dilaksanakan sebaik mungkin, karena persoalannya amat serius. Sungguh celaka kalau sampai kedua pemilu ternyata cacat karena urusan dana kampanye yang tidak beres.
Sebenarnya tidak terlampau sulit membuktikan pelanggaran bila audit dilakukan sempurna. Banyak contoh dari negeri lain?yang demokrasinya sudah mapan?betapa kecurangan dana kampanye telah menyeret beberapa pemimpin politik ke pengadilan, yang skandalnya baru terungkap setelah yang bersangkutan sempat menikmati kekuasaan yang terbukti dicapai dengan cara tidak sah. Bahwa ini sering terjadi, di negara maju pula, tidaklah membuat masalah pelanggaran aturan dana kampanye menjadi sesuatu yang wajar. Yang harus dijadikan contoh bukan teknik curangnya, tapi sistem pencegahan dan pembongkarannya.
Untuk menjaga kemurnian pemilihan umum, mau tak mau memang dana kampanye harus dikontrol. Undang-undang kita juga membuat pembatasan dan persyaratan. Yang diatur terutama adalah transparansi sumber dana dan limit jumlah sumbangan. Maksimum yang boleh diterima dari perseorangan adalah Rp 100 juta, dan dari perusahaan Rp 750 juta. Namun jumlah seluruh dana yang diterima partai atau calon presiden tidak dibatasi, dan tidak ditentukan bahwa sumbangan haruslah dari kekayaan yang sudah terbukti bersih dari kewajiban membayar pajak.
Begitu juga dana yang digunakan berkampanye tidak diatur berapa yang boleh dihabiskan. Padahal, untuk menahan nafsu mengumpulkan uang sebanyak mungkin, sebaiknya dana pengeluaran kampanye juga ditentukan batasnya. Mungkin karena undang-undangnya dibuat oleh wakil partai yang mendahulukan kepentingan sendiri, jendela kelonggaran itu sengaja dibiarkan terbuka. Ketika aturan perundang-undangan tak jelas, kontrol lebih sukar dijalankan.
Keterbukaan, pembatasan, laporan pertanggungjawaban, bukan jadi tujuan regulasi dana kampanye, melainkan cuma alat pengontrol. Pada dasarnya yang diinginkan ialah memurnikan pemilihan umum, mencegah kecurangan, ketidakadilan, dorongan korupsi, dan tentunya politik uang. Selain itu, pemilihan umum tidak patut dibiarkan jadi bersifat padat modal, melulu bergantung pada uang, yang mengganggu kebebasan suara pemilih. Tidak adil bila kemenangan pemilu lebih ditentukan oleh besar-kecilnya dana yang dipunyai. Kalau pengeluaran kampanye dibatasi dan disamakan, kesenjangan kemampuan dana jadi kurang berpengaruh. Asas persamaan kesempatan di antara calon akan lebih terpenuhi, persaingan jadi sehat.
Memang uang bukanlah segalanya. Sering terjadi, partai atau calon yang kuat dananya ternyata gagal menang dalam pemilu. Namun, dengan tak dibatasinya pengeluaran, kebutuhan mengerahkan dana tetap tak terbendung. Masing-masing jorjoran mencari bekal, untuk kampanye yang lebih megah, atau untuk membeli suara secara langsung. Lalu jalan korupsi pun ditempuh, sumber dari uang panas juga diterima.
Sementara ini, belum ada cara mengurangi efek negatif dari kurang tegasnya pembatasan dana kampanye, kecuali mengandalkan audit yang akan dilakukan akuntan publik. Itu saja yang kita tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini