Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGGAL 6 Juni, ternyata, akan melekat erat dalam memori Ratu Mawar Kartina. Bukan karena hari itu bertepatan dengan ulang tahun Bung Karno, satu di antara bapak pendiri republik ini. Melainkan karena pas Ahad pekan lalu itulah rapat besar keluarga Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, memutuskan Ratu dan seluruh keluarganya harus keluar dari kompleks keraton.
"Saya takkan pernah melupakan hari itu," kata Ratu Mawar, gundah berbaur kesal, "Menakutkan sekali." Mungkin pengusiran itu hanya puncak kecemasannya selama ini. Rasa waswas, sebetulnya, sudah merasuki adik perempuan Muhammad Saladin?satu di antara dua pangeran yang mengklaim diri sebagai Sultan Kanoman XII?sejak ratusan orang mulai berani mencaci keluarganya.
Wajarlah bila ketika perintah pengusiran itu dibacakan Muhammad Emirudin?juga mengklaim diri sebagai Sultan Kanoman XII?Ratu tak terlalu kaget. Ia bahkan menantang forum. "Saya tidak akan meninggalkan keraton meski harus mempertaruhkan nyawa," katanya di depan ratusan pendukung Emirudin. Suara lantangnya membuat semua peserta pertemuan memberikan tenggang waktu sepekan.
Surat perintah pengusiran yang ditandatangani Muhammad Emirudin dan dibacakan dalam sidang keluarga, kerabat, dan masyarakat seputar Keraton Kanoman itu memang puncak bergulirnya kembali perebutan takhta Keraton Kanoman. Episode awalnya sudah berlangsung lebih dari 18 bulan silam, setelah mangkatnya Pangeran Raja Muhammad Djalaluddin alias Sultan Kanoman XI, 18 November 2002.
Jika dikaji ulang, mungkin ada yang terlupakan oleh Sultan Djalaluddin. Sampai hari wafatnya, yang menurut seorang punggawa keraton ditandai rintik hujan dan petir sambar-menyambar sepanjang hari di tengah kemarau itu, Sultan Djalaluddin sama sekali belum menunjuk seorang pun anaknya sebagai ahli waris takhta. Padahal ia meninggalkan dua putra tertua dari 16 anak hasil perkawinannya dengan empat istri.
Djalaluddin bahkan menabung "bom waktu" yang disimpannya di dalam sebuah brankas khusus. "Sesuai dengan amanat, brankas itu hanya boleh dibuka setelah beliau wafat," kata Ratu Mawar. Brankas itulah yang pada hari keseratus kematian Djalaluddin berubah laiknya kotak pandora dalam mitos Yunani: menebar wabah ketika kotak indah dan menggugah penasaran itu terbuka.
Syahdan, ketika brankas dibuka, awal 2003 lalu, muncullah surat wasiat yang menunjuk Muhammad Saladin sebagai Sultan Kanoman XII. Keraton Kanoman pun gonjang-ganjing. Bahkan masyarakat Cirebon, terutama yang terhisab dalam kekerabatan Kanoman, ikut heboh. Pasalnya, meski sangat disayangi Sultan, Saladin kebetulan putra Sultan dari istrinya yang ketiga, Nyonya Suherni, yang bukan asal keraton.
Isyarat ke arah wasiat itu, sebetulnya, bukan tak tersirat dari kecenderungan Sultan semasa hidup. Djalaluddin, yang tidak mendapat anak lelaki dari dua pernikahan pertamanya, dikenal pilih kasih pada Suherni ketimbang pada istrinya yang lain, bahkan terhadap Ratu Sri Mulya, permaisuri sekaligus istri keempat, yang dinikahinya empat bulan setelah perkawinannya dengan Suherni.
Nyonya Suherni dan anak-anaknya, misalnya, diberi kewenangan mengurus persoalan keraton dan aneka fasilitasnya, termasuk pengurusan mobil dan surat-surat kepemilikan keraton. Juga pemeliharaan benda-benda pusaka keraton seperti Kereta Paksi Naga Liman, Jempana, Keris Sarpa Naga, Payung Songsong Tunggal Naga, serta Singgasana Keraton Mande Mustika, yang kerap ditampilkan ke masyarakat saat upacara adat.
Bagi kalangan keraton, benda-benda ini merupakan simbol kesultanan yang sangat bermarwah. Sudah lama pula Djalaluddin sering mengajak Pangeran Saladin mendampinginya setiap kali diundang Musyawarah Pimpinan Daerah Cirebon. Tak jarang, untuk acara serupa, Saladin sekaligus menggantikan sang ayah.
Perlakuan berbeda diterima anak-anak lain dari perkawinannya dengan Permaisuri Ratu Sri Mulya. "Anak dari Ibu Ratu Sri Mulya kadang terkesan diabaikan," kata seorang kerabat keraton yang menolak namanya dikutip. Dengan otoritas keuangan yang dipegang Suherni, untuk biaya sekolah pun sering kali anak-anak Permaisuri harus memintanya dari ibu tiri mereka.
Pihak keluarga Permaisuri tak berusaha memprotes perbedaan perlakuan itu. "Itu cara dan kasih sayang beliau guna membentuk kami menjadi anak-anak yang mandiri," kata Ratu Raja Arimbi, adik Emirudin. Namun, dalam urusan takhta dan surat wasiat, keluarga Permaisuri bersikap sangat lain. "Yang berhak menjadi sultan adalah kakak kami, Emirudin," kata Arimbi.
Upaya perdamaian, menurut pemerhati sejarah Cirebon, Dadan Wildan, dipersulit oleh bersikukuhnya pihak masing-masing pada keyakinan mereka. "Pihak Saladin ingin mematuhi bunyi surat wasiat, sedangkan pihak Emirudin sangat menghormati papakem adat," kata Dadan, staf pengajar di Universitas Galuh, Ciamis, Jawa Barat. Terjadilah kemudian pelantikan oleh pihak masing-masing, dalam waktu yang terpaut kurang dari 24 jam.
Pangeran Muhammad Saladin melaksanakan pelantikan pada Rabu malam 5 Maret 2003, sedangkan Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada esok siangnya, 6 Maret 2003. Konflik keluarga yang sama-sama tinggal di Kaputren Kanoman dan hanya terpisah dinding kayu ini tadinya sempat mereda. Masing-masing menunggu keputusan tetap pengadilan.
Setiap kali diundang Pemerintah Daerah Cirebon, kedua sultan selalu hadir, meski duduk terpisah. Perseteruan kembali marak ketika keluarga Muhammad Saladin menjadi bagian dari tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla untuk pemilu presiden mendatang. Selain itu, pengajuan proposal untuk keikutsertaan Kanoman dalam Festival Keraton Nusantara kepada Pemda Jawa Barat pun disesalkan pihak Emirudin.
Buntutnya itu tadi, pihak Emirudin mengumpulkan kerabat keraton dalam rapat keluarga yang berujung pengusiran keluarga besar Saladin. Secara tradisional, posisi Emirudin memang di atas angin. Dalam tradisi Kesultanan Cirebon sejak 1677, suksesi dilakukan dengan mengangkat anak lelaki tertua dari permaisuri sebagai ahli waris takhta. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Barulah, bila terpaksa, orang lain akan memangku jabatan semacam caretaker.
Akan halnya surat wasiat tadi, banyak pula pihak yang meragukannya. T.D. Sujana, kerabat keraton dan budayawan setempat, mengatakan bahwa mayoritas kerabat keraton hingga kini menyangsikan keaslian surat wasiat tersebut, mengingat tiadanya saksi yang melihat Sultan Djalaluddin menulis dan menandatanganinya. Selain itu, menurut Sujana, selama ini tradisi keraton tidak pernah mengenal penggunaan surat wasiat dalam pergantian sultan.
"Surat wasiat hanya berlaku untuk pembagian harta warisan," kata Sujana. Ia juga menunjuk contoh lain yang menguatkan hak Emirudin sebagai penerus takhta Kesultanan Kanoman. Dalam hal gelar, Emirudin bergelar pangeran raja, sementara Saladin hanya bergelar pangeran. "Itu saja sudah menunjukkan Emirudinlah yang berhak menjadi penerus Sultan Kanoman," kata Sujana.
Perseteruan sejenis tidak hanya kali ini terjadi di keraton yang berlokasi di Lemahwungkuk, Kota Madya Cirebon, itu. Kasus serupa sempat terjadi pada 1807 dan 1875. Ketika Kanoman dipimpin Pangeran Komaruddin II pada 1875, terjadi perebutan takhta antara Pangeran Raja Zulkarnaen dan Pangeran Raja Carbon, yang dimenangi Zulkarnaen. Konflik pada 1807 malah memecah Keraton Kanoman menjadi Kanoman dan Kacirebonan.
Darmawan Sepriyossa, Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo