Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mutahar Sudah Merdeka

Dua buah lagu wajib nasional melambungkan namanya. Ia seorang sosok yang santun, jujur dan cerdas.

14 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama lengkapnya Husein Mutahar. Ia dilahirkan di Semarang hampir 88 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 5 Agustus 1916. Namanya tak akan banyak dikenal seandainya dia tak menciptakan dua buah lagu wajib nasional yang dinyanyikan semua orang sepanjang masa: himne Syukur dan mars Hari Merdeka. Seperti Sorak-sorak Bergembira (Cornel Simandjoentak, 1920-1946), kedua lagu Husein Mutahar itu bahkan lebih sering dinyanyikan orang dibandingkan dengan lagu upacara seperti Indonesia Raya (W.R. Supratman, 1903-1938), Satu Nusa Satu Bangsa (L. Manik, 1924-1993), Padamu Negeri (Koesbini, 1910-1991), atau Gugur Bunga (Ismail Marzuki, 1914-1958).

Nama-nama kondang di atas direnteng sederetan dengan nama Mutahar karena memiliki kesamaan ciri-ciri umum yang menunjukkan sifat-sifat peran manusia pra-kemerdekaan negeri ini. Bila nama Ibu Sud (Nyonya Bintang Sudibyo, 1908-1993) dan Pak Dal (Daldjono, 1909-1977) ditambahkan, lengkaplah sudah kiranya citra yang dapat digambarkan untuk menjelaskan sosok H. Mutahar. Seperti para kamerata sezamannya masa itu, ia adalah anak manusia negeri ini yang dilahirkan pada saat-saat dini abad silam yang seolah-olah ditakdirkan untuk mengambil peran tertentu di republik ini.

Ciri-ciri mereka adalah dilahirkan pada awal dasawarsa pertama dan kedua abad ke-20. Mereka adalah orang cerdas yang terpelajar, yang pada zamannya memiliki latar belakang pendidikan umum kolonial Belanda yang cukup tinggi. Mereka terdidik, jujur, berdisiplin, taat aturan, dan bersopan-santun prima. Me-reka menguasai basis intelektual dalam bidang matematika, sejarah, bahasa, musik, dan sastra. Seperti teman-teman seperjuangan pada zamannya, Mutahar berlatar pendidikan HIS, MULO, AMS, dan sebentar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada?sebuah matra pendidikan basis intelektual yang cukup terhormat pada zamannya. Karena obsesi kemerdekaan yang tinggi, seperti para pendiri negeri ini pada masa lalu, Mutahar memiliki standar moral dan sifat-sifat patriotik hingga akhir hayatnya. Dua lagu yang disebut di atas mencerminkan sifat-sifat itu. Syukur berbunyi, "? hati ikhlasku penuh/akan karuniaMu? Indonesia merdeka/Syukur aku sembahkan/ke hadiratMu Tuhan." Hari Merdeka berisi, "sekali merdeka tetap merdeka/selama hayat masih dikandung badan?."

Bukanlah suatu hal yang kebetulan bila nama-nama pelopor pejuang kemerdekaan di atas direnteng sederetan. Mereka semua memiliki sifat pejuang sejati yang satu ini: jujur dan sederhana. Sebuah watak hidup yang indah dan tak ternilai! "Saya tidak ngoyo dan tidak main sikut," katanya dalam salah satu wawancara televisi pada suatu ketika. Sambil menggesek-gesekkan ibu jari kanan dan telunjuknya, ia memberikan isyarat bahwa ia tidaklah seperti manusia zaman sekarang, yang menyembah duit sebagai berhala.

Seperti rekan-rekan seangkatannya, Husein Mutahar berkecimpung di dunia musik secara otodidak?berkat pelajaran musik yang cukup baik di sekolah umum. Semua penulis lagu pada masa itu berolah musik karena peran perjuangan, dan otodidaksi buah pengalaman kecintaan kepada etos kerja dalam bidangnya. Apabila kemudian H. Mutahar tidak sebeken rekan-rekannya dalam bidang dunia penciptaan lagu seperti Cornel, Koesbini, Ibu Sud, atau bahkan A.T. Mahmud?generasi yang lebih kemudian?itu semata-mata bukan karena dia tidak mencipta lagu sebanyak yang dihasilkan oleh rekan-rekannya. Di samping lagu Syukur dan Hari Merdeka yang melambungkan namanya itu, H. Mutahar memang tak banyak menghasilkan karya. Lagu ciptaannya untuk anak-anak di antaranya Gembira, Tepuk Tangan Silang-Silang, Mari Tepuk Tangan, Slamatlah, Jangan Putus Asa, Saat Berpisah, Pramuka, dan lagu terakhirnya Dirgahayu Indonesia (1995).

Husein Mutahar lebih banyak berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan. Ia salah seorang pelopor dalam dunia kepanduan di negeri ini?sejak masih bernama Pandu Rakyat Indonesia, Kepanduan Bangsa Indonesia, hingga menjadi bentuknya yang sekarang, Pramuka. Mutahar pernah menjadi ajudan Bung Karno, menjadi staf Sekretariat Negara RI di Yogyakarta, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri, dan Duta Besar RI untuk Vatikan. Peran multifungsi ini mengingatkan kita pada penulis lagu Maladi, yang adalah mantan kiper PSSI, Ketua PSSI, Ketua KONI, dan Menteri Penerangan! Menulis banyak lagu memang tidak bisa disambi dengan memangku jabatan birokrasi yang sibuk.

Dalam lagunya Saat Berpisah, ia menulis, "Sudah tiba waktu berpisah?. Dalam hati kita tetap ingat, pada janji Panduku/Pun tak 'kan lupa 'ku bersyukur padaMu Tuhanku yang luhur." Pada lagu lain yang berjudul Slamatlah, ia menulis, "Slamat jalan kawan/Slamatlah sampai di rumah/Slamat tidur kawan/Selamat Tidur/Semoga kamu selalu/dilindungi Tuhan." Husein Mutahar meninggal dunia dengan tenang dan rasa syukur pada hari Rabu, 9 Juni 2004, di Jakarta. Selamat jalan, kawan. Selamatlah sampai di rumah. Kini kau telah merdeka!

Suka Hardjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus