Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat kita sungguh lucu. Demi “meningkatkan ketahanan keluarga”, lima politikus dari empat partai mengajukan rancangan undang-undang. Ketika pasal di dalamnya memantik kontroversi, satu anggota di antaranya menyatakan belum membaca rancangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Pengusungnya Ledia Hanifa Amaliah dan Netty Prasetiyani dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Rancangan itu merupakan satu dari 50 program legislasi nasional tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal-pasal di dalamnya bisa membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Rancangan undang-undang ini memungkinkan negara masuk terlalu jauh mengurus rumah tangga penduduk. Beberapa pasal bahkan membuat negara bisa menjadi tukang intip karena mengatur urusan ranjang pasangan suami-istri.
Intervensi negara ke kehidupan pribadi tercantum pula pada pasal yang mengatur kewajiban suami dan istri dalam keluarga. Pasal 24 dan 25 menyebutkan suami bertugas sebagai kepala keluarga, sedangkan istri mengurus rumah tangga. Negara tak punya hak mengatur urusan seperti ini.
Rancangan undang-undang ini sangat patriarkis, mengabaikan prinsip kesetaraan gender. Pasal yang mengatur keharusan istri mengurus rumah tangga akan membatasi kiprah perempuan dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik. Padahal perempuan dan laki-laki punya hak setara untuk berbagi dan bertukar peran dalam urusan domestik, seperti halnya dalam pelbagai bidang kehidupan di luar rumah tangga.
Konsep rancangan ini sangat ketinggalan zaman karena hendak mengatur urusan keluarga yang secara sosiologis telah berubah. Pandangan bahwa laki-laki pencari nafkah utama sudah usang. Kini perempuan lebih mandiri dengan bekerja di sektor publik.
Rancangan undang-undang ini juga diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender alias LGBT. Di situ disebutkan bahwa LGBT merupakan penyimpangan seksual dan, karena itu, diwajibkan melapor dan menjalani rehabilitasi. Aturan ini akan melanggengkan stigmatisasi, yang membuat kelompok tersebut kerap menjadi korban diskriminasi.
Para pembuat undang-undang seharusnya tak memasukkan pandangan agama ke produk undang-undang. Sebab, pandangan agama bisa menumbuhkan benih diskriminasi dan mengabaikan kesetaraan warga negara di depan hukum. Anggota DPR tak semestinya mengubah Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama.
Tekanan publik diperlukan untuk mencegah pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang ini. Tekanan ini telah membuat Fraksi Partai Golkar balik kanan. Golkar mengklaim anggotanya yang menjadi pengusung bahkan belum membaca seluruh bagian rancangan itu.
Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat sudah semestinya mencabut rancangan undang-undang itu. Mereka seharusnya lebih berfokus pada hal-hal yang jauh lebih penting. Misalnya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang merupakan tunggakan Dewan periode 2014-2019. Pemerintah pun tidak perlu mengirimkan wakilnya dalam pembahasan di Senayan—kecuali jika memang juga ingin menjadi pengintip kehidupan rumah tangga warga negaranya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo