Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata punya kedaulatannya sendiri. Dengan catatan: dalam kedaulatan itu, ada kata yang hadir sebagai sensor yang mencoba menghalau kata lain—walaupun kata yang lain itu juga punya kedaulatan sendiri.
Saya melihat sensor sebagai kata dengan ”K”. Sensor sebagai K (”kalian tidak boleh…”) menenggelamkan kata sebagai ”k” (misalnya ”aku tak yakin”). Sensor sebagai K akan membawa tafsir sebagai T, yang hendak menggulung tafsir-tafsir (”t”) lain.
Tapi ”k” dan ”t” tak bisa dimatikan. Bahkan di bawah kekuasaan yang penuh ”K”, karya sastra, ibarat lautan di mana ”k” bergerak dengan hidup, tak pernah sepenuhnya kering. Juga ”T”—sebagai tafsir yang resmi di tangan yang berkuasa—tak akan melenyapkan ”t”.
Tahun ini Akademi Swedia menghargai Mo Yan, novelis Cina, dengan Hadiah Nobel untuk kesusastraan. Tak urung, banyak pertanyaan muncul: kata yang manakah yang membangun karyanya hingga ia dihargai sedemikian rupa? Kata yang bagaimanakah yang membuatnya justru terasa janggal memperoleh Hadiah Nobel?
Sebagian besar orang di dunia tak kenal novel Mo Yan. Sebagian besar orang di dunia diharapkan percaya begitu saja kepada pilihan para juri rahasia Akademi Swedia. Tak ada investigasi bagaimana mereka bisa menemukan Mo Yan di antara tumpukan nama lain. Sementara itu, ada orang-orang yang lebih mengenal Mo dalam hubungannya dengan ”K”.
Ia anggota Partai Komunis. Ia memulai kariernya sebagai sastrawan ketika ia jadi anggota Tentara Pembebasan Rakyat dan belajar sastra di akademi milik militer itu. Ketika dalam Pekan Raya Buku di Frankfurt pada 2010 ada karya-karya sastra penulis Cina yang membangkang pemerintah Beijing, ia memboikot acara internasional itu. Ketika pada tahun ini dalam London Book Fair ia ikut memilih karya mana yang mewakili negerinya, ia meniadakan nama-nama pembangkang yang diharamkan pemerintahnya.
Yu Jie, seorang pengarang terkemuka yang melarikan diri dari Cina dan pindah ke Amerika Serikat, melihat penilaian Akademi Swedia itu dengan sarkastis. ”Seorang sastrawan yang mengumandangkan 'Hitler' tak akan mungkin menerima Hadiah itu,” katanya, ”tapi seorang pengarang yang mengumandangkan 'Mao' bisa.” Dan itu, bagi Yu Jie, menunjukkan betapa tak pedulinya dunia Barat akan penindasan hak asasi manusia di bawah penguasa Beijing.
Mo bukan tak mengakui adanya sensor. Tapi ia punya alasan—bahkan pembenaran—untuk itu. Dalam sebuah wawancara di London Book Fair yang lalu ia mengatakan, ”Dalam hidup nyata kita bisa saja ada soal-soal yang peka dan tajam yang [oleh penulis] tak hendak disentuh. Dalam keadaan itu, seorang penulis dapat menyuntikkan imajinasinya sendiri untuk mengisolasi dirinya dari dunia nyata atau melebih-lebihkan situasinya—dengan membuatnya jelas, terang-benderang…. Saya percaya, pembatasan atau sensor itu bagus sekali untuk kreasi sastra.”
Akademi Swedia memang melihat bagaimana imajinasi dimasukkan ke dalam karya-karya Mo—dan lahirlah sebuah realisme yang berkombinasi dengan citraan yang mendekati halusinasi. Sastranya disejajarkan dengan ”realisme magis” ala Gabriel Garcia Marquez atau penceritaan yang puitis dalam novel William Faulkner. Dalam karya Mo, sebagaimana dalam pandangannya tentang proses penulisan, ”K” malah dianggap bisa menyebabkan ”k” tumbuh subur.
Tapi saya kira Mo tak melihat bahwa imajinasi yang lahir dari dorongan kreatif punya sejarah yang tak sama dengan imajinasi sebagai keterampilan menyesuaikan diri dengan rasa takut dan kecemasan. Pada yang pertama, imajinasi ibarat loncatan lincah yang bersemangat. Ia membawa energi. Pada yang kedua, imajinasi ibarat gerak berkelit karena gentar kena hantam. Yang pertama adalah cetusan yang tak dibuat-buat. Yang kedua siasat dengan akal yang berperhitungan; ada unsur muslihat—yang mungkin tak disadari sendiri.
Tapi bagi para juri Akademi Swedia, yang penting dinilai bukanlah sejarah imajinasi dalam karya Mo, melainkan bagaimana imajinasi itu tampak dalam novel-novelnya. Lagi pula Mo memang benar: ia menegaskan bahwa sensor akhirnya tak bisa berkuasa penuh.
Tapi ada yang merisaukan. Mo adalah contoh bagaimana seorang pengarang menerima sensor, ”K”, sebagai sebuah lembaga yang menetralisasi kepedihan kata-kata untuk lahir dan hidup.
Mungkin karena pengalaman Mo berbeda dengan para sastrawan Cina lain, terutama Yu Hua. Pengarang novel yang dalam versi Inggris berjudul To Live ini juga di sana-sini membiarkan kompromi dengan ketidakbebasan kata-kata. Tapi China in Ten Words, kumpulan esai Yu tentang Cina, punya satu bab yang menarik tentang bagaimana kata-kata hidup terjepit bahkan bukan dalam hidup seorang penulis, melainkan seorang pembaca.
Ketika Yu yang lahir pada 1960 berumur belasan tahun, di Cina novel tak boleh dibaca—apalagi novel asing. Tapi ia dan seorang temannya berhasil meminjam terjemahan karya Alexandre Dumas, La Dame aux Camélias. Buku itu hanya boleh di tangan mereka selama 24 jam. Maka dengan terburu-buru mereka salin tiap patah katanya dengan tulisan tangan. Mereka bekerja semalam suntuk. Tapi ketika novel Dumas itu mereka kembalikan, mereka bingung: tulisan tangan Yu tak bisa dibaca temannya, begitu juga sebaliknya. Maka di bawah lampu jalan mereka saling membacakan salinan buku itu. Dengan rasa bahagia. Mereka menemukan saat yang merdeka.
Berbeda dengan Mo, Yu tak melihat sensor sebagai lembaga yang paradoksal: sebagai ”K” yang represif tapi juga produktif. Tapi Yu juga membuktikan bahwa tafsir, ”t”, terhadap realitas tak bisa dimonopoli ”T”. Ia bisa menunjukkan betapa berdaulatnya ”k”. Sekadar membacanya sudah merupakan sebuah laku pembebasan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo