Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Motivasi penanaman modal

Penanaman modal di indonesia menurun tahun ini. kemungkinan penyebab turunnya investasi. motivasi masuknya modal diantaranya adalah penentuan lokasi investasi dan pasaran global.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAPA jumlah penanaman modal di Indonesia turun drastis tahun ini? Angka yang diumumkan BKPM menunjukkan bahwa jumlah persetujuan PMDN turun 49% dan PMA turun 47% antara Januari dan Mei 1992 dibanding periode yang sama tahun lalu, setelah angka persetujuan penanaman modal mencapai puncaknya pada 1990 dan 1991. Penanaman modal adalah kegiatan investasi yang penting, yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat, dan penyediaan lapangan kerja, maka penting untuk diketahui sebab-sebab turunnya angka itu. Kita perlu tahu, apakah penurunan itu sekadar gejala jangka pendek yang bersifat sementara, yang berasal dari beberapa kemungkinan: mungkin karena TMP masih berlangsung mungkin karena penyediaan prasarana sudah mentok mungkin karena investor masih menunggu hasil pemilu dan deregulasi atau iklim makroekonomi belum cukup menggairahkan buat investasi. Kalau benar sebabnya adalah hal-hal jangka pendek dan bersifat sementara, tak perlu dirisaukan. Bahkan mungkin bisa merupakan hal yang patut disambut untuk berhasilnya program "pendinginan" ekonomi Indonesia. Yang bisa merisaukan adalah kalau penurunan penanaman modal tersebut merupakan permulaan dari satu trend jangka panjang, yang mungkin sulit dibalikkan. Beberapa kemungkinan yang bisa merupakan contoh proses jangka panjang tersebut sudah sama kita ketahui. Pertama, berakhirnya program relokasi beberapa industri dari beberapa negara industri Asia (Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, Jepang), yang selama ini mengejar ongkos buruh yang murah. Kedua adalah munculnya pesaing Indonesia dalam memperebutkan investasi (India, Bangladesh, Vietnam, RRC), yang sudah bersedia memberi perangsang yang lebih atraktif daripada yang diberikan Indonesia. Dan jangan lupa saingan dari AS, yang ternyata sudah lama menjadi negara mengimpor modal netto. Pada 1990, jumlah penanaman modal asing yang masuk AS dua kali lipat dari penanaman modal perusahaan-perusahaan AS di luar negeri. Pengetahuan yang tepat di balik menurunnya aliran investasi ini diperlukan karena tiap sebab akan memerlukan respons kebijaksanaan yang berbeda. Kalau sebab penurunan itu karena masih adanya kebijaksanaan uang ketat, ya, ini berarti begitu kebijaksanaan itu berakhir, modal akan masuk lagi. Kalau sebabnya adalah karena penyediaan prasarana sudah mentok, ya, program swastanisasi listrik, dan mungkin juga Telkom, harus dipercepat. Keunggulan Indonesia di bidang upah buruh tampaknya akan berkurang pada masa mendatang. Tuntutan kenaikan gaji karyawan sektor industri akan terus meningkat. Pemogokan buruh sudah terjadi di beberapa industri, dan kegiatan ini masih akan terus berlangsung. Sikap karyawan, baik yang tergabung dalam serikat pekerja maupun yang tidak, makin militan. Bila militansi karyawan ini tidak bisa dikontrol, bukan tidak mungkin para calon investor akan menjauhi Indonesia dan akan mencari tempat lain. Mereka akan menengok ke negara-negara yang lebih miskin dari Indonesia, seperti India, Bangladesh, atau Vietnam, yang masih memberikan upah buruh yang lebih rendah. Dari perspektif mikroekonomi perusahaan, ada beberapa elemen yang digunakan untuk menentukan lokasi investasi. Hal-hal tersebut merupakan motivasi masuknya modal. Bisa mencakup stabilitas politik dan ekonomi, tersedianya bahan-bahan, dekatnya dengan konsumen, upah buruh, perangsang fiskal, dan sebagainya. Sering, secara umum dikemukakan bahwa negara yang berpenduduk banyak berarti pasar yang besar, dan hal ini digunakan sebagai tema sentral promosi untuk menarik penanaman modal. Tapi kenyataannya adalah bahwa penduduk yang banyak tidak otomatis berarti pasar yang besar. Dari sini muncul modifikasi kriteria untuk lokasi penanaman modal. Bukan penduduk yang besar, tapi adalah pendapatan per kapita, karena ukuran ini mencerminkan tingkat kemakmuran penduduk. Tapi kriteria ini pun tidak cukup untuk menerangkan aliran penanaman modal, sekurangnya untuk menganalisa aliran di berbagai provinsi di Indonesia. Ambillah Kalimantan Timur. Provinsi ini mempunyai pendapatan regional bruto per kapita yang paling tinggi di Indonesia, yaitu Rp 4,1 juta pada 1989. Artinya, kalau Kalimantan Timur menjadi negara sendiri, pendapatan per kapitanya sudah mencapai US$ 2.000 (pendapatan per kapita Indonesia US$ 500). Kal-Tim, sebagai negara sendiri, lebih maju dari beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Muangthai. Tapi pendapatan per kapita saja ternyata tidak berarti undangan yang menggairahkan buat investor. Bagian modal yang mengalir ke Kal-Tim kecondongannya terus turun. Pada 1988, 7% PMDN untuk Indonesia mengambil lokasi di Kal-Tim, jumlah yang sama besar untuk Jawa Timur. Pada 1990, saat aliran modal di Indonesia mencapai puncaknya, hanya 5% PMDN mengambil lokasi di Kal-Tim. Setahun kemudian, PMDN di Kal-Tim turun menjadi 3% dari seluruh PMDN, bahkan aliran modal di tetangganya, Kalimantan Barat, lebih besar (5%). Jelas bahwa motivasi penanaman modal mengandung dimensi yang lebih luas daripada sekadar jumlah penduduk atau pendapatan per kapita. Kedua faktor ini lebih banyak berkait dengan pertimbangan pemasaran dalam negeri. Tetapi besarnya pasar dalam negeri makin menjadi pertimbangan yang kurang dominan dalam keputusan pemilihan lokasi investasi bagi investor asing, terutama mereka yang menjadi anak perusahaan satu perusahaan global. Pertimbangan mereka adalah adanya pasaran global, sedangkan lokasi industri makin dipengaruhi oleh biaya, dan lingkungan ekonomi dan perdagangan. Pertimbangan pasaran global juga tampaknya klop dengan keperluan negara tuan rumah, yang umumnya punya obsesi untuk meningkatkan ekspor. Karena itulah kita melihat adanya perkembangan bahwa izin investasi yang menyangkut bagian kepemilikan (equity) dan bidang usaha merupakan fungsi dari bagian ekspor perusahaan yang bersangkutan. Karena itu, yang akan menarik aliran modal adalah adanya konvergensi antara kepentingan perusahaan global dalam memenuhi pasaran globalnya dan kemudahan-kemudahan dalam bidang produksi dan perdagangan yang diberikan oleh negara tuan rumah dan negara mitra dagangnya. Jadi, tidak ditentukan oleh apakah perusahaan AS "lebih njlimet" atau apakah perusahaan Hong Kong dan Taiwan "lebih berani" dalam melakukan penanaman modal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus