Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rambu-rambu batin fadli rasyid

Petani, ilustrator, penulis cerita pendek fadli rasyid menggelar 35 lukisan dalam sebuah pameran tunggal.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI pelukis, Fadli Rasyid memang belum begitu dikenal. Namanya lebih banyak dikaji sebagai penulis cerita pendek atau ilustrator. Ia sendiri sering mengaku petani. Lelaki 54 tahun ini punya sawah 2,5 ha di kampungnya, Mumbulsari, Jember, Jawa Timur. Namun, tidak berarti lukisan Fadli kemudian harus dianggap karya "minor." Pada pameran tunggalnya di Balai Budaya Jakarta, pekan lalu, 35 lukisannya bisa dikatakan sejajar dengan karyanya yang lain. Perhatikan saja karya yang diberinya judul Dialog Dua. Lukisan ini menampilkan dua sosok yang saling berhadapan, dilukis dari samping. Di tengahnya tegak sebuah bangunan menyerupai masjid, dilukiskan dengan garisgaris sederhana dengan perbandingan dan perspektif tidak sebenarnya. Semua lukisannya mengingatkan kita pada kenaifan lukisan anak-anak, yang dihela dorongan bermain, ngelantur ke mana-mana. Tema dan pencitraan yang lugu itu kontur yang tegas, mengesankan kejujuran adalah kekuatan lukisan Fadli Rasyid. "Dalam melukis, saya lebih didorong oleh rasa ingin bermain dengan garis dan warna," katanya pada Ardian Taufik Gesuri dari TEMPO. "Dengan cara ini, saya menjaring imajinasi." Secara keseluruhan karya Rasyid yang dipamerkan kali ini didominasi warna-warna kusam dan tua, pada obyek, latar belakang, ataupun permukaan kanvas. Warna-warna yang disapukan tumpang-tindih memberikan kesan tak diatur. Jauh dari penyusunan komposisi bidang warna. Warna-warna gelap dibiarkan bercampur begitu saja. Tampaknya dibuat mengikuti naluri bermain dengan palet. Karena itu, sapuan ini tidak bisa dikatakan ekspresif. Obyek fantasi lukisannya dibangun di atas bidang warna kusam. Dibentuk dengan menorehkan ujung palet yang lancip dan menimbulkan jejak torehan, garis yang menampilkan warna putih kanvas. Pada Kelelawar, Lailatulqadar, Gondrong, Sepasang Mata, garis-garis putih kanvas "menari" dengan bebas di atas warnawarna dasar. Rasyid mengikuti gerak tangan yang terbawa palet ketika menoreh kanvas. Ia percaya, proses ini terjadi karena ia mengikuti naluri. Guratan benda tajam ini bisa jadi dipengaruhi sikapnya sebagai ilustrator yang terbiasa membentuk garis dengan pena atau pensil pada kertas. Kecenderungan ini terlihat jelas pada enam gambar pena hitam putih yang ikut dipamerkan. Beda lukisan Rasyid dengan gambar yang biasa dibuatnya, lukisannya dikerjakan di atas latar belakang warna, dan obyek karyanya tidak terbebani cerita seperti lazimnya karya ilustrasi. Jika pamerannya kali ini dibandingkan dengan pameran tunggalnya lima belas tahun lalu, di tempat yang sama, tampak ada proses pematangan. Kedua pameran itu memperlihatkan kesamaan teknik. Lukisannya 15 tahun lalu merupakan suatu fase dalam sebuah proses perjalanan menuju kematangan. Telah terjadi pengembangan teknik dan ide-ide yang kemudian menjadi sebuah pembentukan karakter yang kini menjadi identitasnya. Memang ada di antara karya yang dipamerkannya menggunakan teknik yang tidak mengikuti "arus utama", misalnya Mimik, Mata Biru, dan Duduk I. Di sini Rasyid membentuk obyek lukisannya sosok dengan bidang warna. Ia kemudian membangun susunan bidang warna lain untuk menjadi latar belakang. Pemisahan bidang-bidang warna dilakukan dengan menyapukan garis tipis yang cenderung gelap. Namun, bagi Fadli Rasyid, bentuk, teknik, komposisi, paduan warna, bukan masalah yang prinsip. Semua itu hanya merupakan elemen estetis yang mengantarkan kristalisasi penghayatannya pada masalah-masalah sosial dan religi yang muncul pada karya ciptaannya. Ia sendiri mengungkapkan, teknik melukis dan menggambarkan obyek sudah tak menjadi masalah baginya. Gambar kelelawar, orang jongkok, dan lainnya, kebetulan saja muncul dalam lukisan-lukisannya. "Figur hanyalah rambu-rambu. Dan ide lebih menyeret teknik," katanya. "Kalau orang mengatakan itu salah dan ngawur, itu terserah." Namun, usaha pembentukan volume dengan mengisi bidang-bidang dengan warna seperti pada karyakarya Rasyid justru mengingatkan kita pada banyak karya pelukis lain. Di sini dari segi teknik melukis ia seperti kehilangan identitas. Yang menarik dari pameran Rasyid kali ini, sebagian besar karyanya mencitrakan kesan religius. Terjadi karena ia membebaskan warna dari pembentukan komposisi, dan cuma mengikuti naluri dalam membuat garis-garis paletnya. Kesan ini terlihat jelas pada karyanya, Kelelawar, Lailatulqadar, serta Sepasang Mata. Dengan menggunakan latar warna yang sedikit lebih cerah dan juga torehan yang mengesankan kegairahan, karyakarya ini mengisyaratkan atmosfer dunia lain. Fadli Rasyid seperti kembali ke dunia tempat ia dibesarkan. Ketertarikannya pada dunia imajinatif yang religius mungkin karena pengaruh pendidikannya di madrasah, dulu. "Dasar-dasar agama sangat kaya sebagai sumber imajinasi," katanya. Dunia batin, yang tercermin dalam karya-karyanya, memang terasa dalam. Sebuah ungkapan perenungan seorang seniman. S. Malela Mahargasarie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus