Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATAS permintaan sejumlah organisasi kesehatan dan ilmuwan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengganti nama monkeypox, yang di sini populer sebagai cacar monyet, dengan Mpox. Para ilmuwan dan aktivis sosial mendorong penggantian nama itu agar tidak diskriminatif dan menstigma kelompok masyarakat atau wilayah tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah monkeypox telanjur diasosiasikan dengan penemuan virus pada monyet bergejala di negara-negara Afrika Barat dan Afrika Tengah sehingga nama itu seolah-olah identik atau sebagai “penyakit Afrika”, padahal penyakit tersebut sebetulnya pertama kali muncul di Denmark pada 1958. Penelitian ilmiah membuktikan bahwa inang virus itu sebenarnya ngendon dalam tubuh tikus. Penularannya memang bisa melalui cakaran hewan berkuku tajam seperti monyet dan tupai serta hewan pengerat lain yang terinfeksi. Itu sebabnya para pakar dan pengkritik menilai sebutan monkeypox tidak akurat dan mengandung prasangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan sekali ini WHO berusaha membuat istilah yang bebas dari diskriminasi dan stigma. Ketika wabah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 mulai merebak pada akhir 2019 di Wuhan, Cina, penyakit itu sempat populer dengan sebutan “virus korona Wuhan” atau “pneumonia Wuhan”. Untuk menghindari stigma sosial dan geografis, WHO kemudian memperkenalkan coronavirus disease 2019, yang disingkat Covid-19, sebagai nama resmi penyakit itu pada Februari 2020.
Penggantian nama monkeypox tak lepas dari deskripsi monkey (monyet) yang, walaupun sebenarnya netral, punya konotasi negatif. Beberapa idiom bahasa Inggris dari kata itu menyirapkan ekspresi tak sedap. Contohnya monkey business, yang berarti tingkah-polah seseorang yang dinilai tak dapat diterima atau tak jujur. Monkey tricks atau monkey shines untuk perilaku atau tindakan curang. Ada pula make a monkey out of somebody untuk menyindir seseorang yang kelihatan bodoh. Interjeksi “monyet!” dalam bahasa Indonesia juga memerikan suatu kekesalan, misalnya saat lalu lintas di jalan raya macet parah.
Nama baru Mpox disambut baik karena semangatnya menjunjung sikap yang menolak diskriminasi dan stigma. Nama baru itu berusaha tidak menyangkutpautkan penyakit atau virus tersebut dengan suatu negara, wilayah, kelompok etnis, atau bahkan satwa tertentu yang dipersepsikan buruk rupa, menjijikkan, dan semacamnya. Dari sisi kebahasaan, Mpox dipandang bisa mengatasi ragam istilah dalam bahasa berbeda-beda yang, nyatanya, tak selalu memiliki acuan geografis ataupun zoologis yang jelas. Sebutan Mpox dibayangkan sebagai istilah inklusif bagi nama penyakit itu, yang dipercaya akan diterima oleh penutur bahasa mana pun di dunia.
Di Amerika Serikat, pemerintahan Presiden Joe Biden dengan lega menerima penyulihan monkeypox menjadi Mpox dan bersicepat mengadopsinya. Rupanya, istilah baru itu telah lama ditunggu-tunggu di sana, tapi prosesnya lelet. Ini juga karena Amerika tergolong negara di luar Afrika yang paling banyak terpapar penyakit cacar itu, selain Spanyol dan Brasil, pada 2022. Bahkan, hingga September 2023, lebih dari 65 persen virus itu menggerayangi sekujur tubuh Benua Amerika dan menyergap sekitar 45 ribu orang. Bandingkan dengan “hanya” 13 orang yang terinfeksi virus serupa di Indonesia.
Di sini pun nama Mpox diadopsi luas oleh kalangan dokter, lembaga kesehatan, masyarakat, dan lain-lain. Tersedia masa transisi selama setahun sejak penggantian nama virus itu diumumkan WHO pada November 2022. Selagi masa transisi, sebutan monkeypox dan Mpox masih bisa dipakai bergantian di ruang publik. Kini, nyaris persis setahun masa peralihan itu, muncul kasus baru Mpox di Jakarta. Dan benar, berita berbagai media tentang kasus itu, termasuk infografik yang pernah terbit di majalah ini, masih berselang-seling memetik sebutan Mpox dan cacar monyet.
Demi menjaga bebrayan antarbangsa, keputusan WHO memberlakukan nama Mpox tentu patut diikuti, tapi kita juga tak perlu “alergi” andai cacar monyet masih diucapkan orang ramai. Hitung-hitung merekam ragam istilah antropologi kesehatan di negeri ini. Bagaimanapun, cukup banyak nama penyakit lokal yang populer yang berelasi dengan satwa, seperti kesemutan, keremian, cacingan, flu burung, flu babi, rabun ayam, kaki gajah, kutu air, dan raja singa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mpox"