ANUGERAH Pariwara hadiah untuk iklan terbaik golongan consumer
goods tahun ini diterima oleh iklan pers Kodak Instant Camera.
Mungkin ironis, tapi seorang bernama W.K. Pedersen dari kantor
pusat Kodak di Rochester sana pernah bilang secara gratis
begini: "Harus saya akui bahwa masyarakat tidak perlu memiliki
pesawat pemotret instamatik. Sama seperti mereka tak perlu
memiliki mesin cuci, televisi berwarna dan bahkan mobil. Lihat
saja nenek moyang kita yang bisa hidup nyaman tanpa semua
alat-alat yang disebut di atas."
Bravo, tuan Pedersen! Hip, hip, hurah!
Tapi tunggu dulu! Pedersen ternyata cuma berhenti untuk menarik
napas. Lanjutnya: "Soalnya nenek moyang kita dulu tak punya
pilihan lain. Mereka minum air kali yang bukan main segarnya
menurut mereka karena memang belum ada minuman botol Dr. Pepper
atau Coca Cola."
Ia pun berlanjut. "Nah, kalau kepada masyarakat lantas diberikan
pilihan, maka tentu saja mereka akan memilih apa yang menurut
mereka baik untuk memperkaya kehidupannya. Karena itu sangatlah
tepat kalau barang-barang konsumsi dalam kamus ekonomi disebut
consumer goods. Kalau memangnya barang-barang itu tidak membuat
hidup manusia lebih nyaman dan baik, kenapa tak diberi nama
consumer bads atau consumer indifferents?"
Hadirin diam terpukau. Sampai lupa bahwa tuan Pedersen turun
dari rostrum dengan sebuah tanda tanya untuk mereka. Dan tidak
ada yang ingin menjawab. Tapi diakui bahwa memang ada consumer
goods yang bikin bad kalau dikonsumsi secara tak senonoh.
Contohnya, permen. Kalau seorang anak makan sepuluh permen dalam
sehari, maka bukan hanya kantong orangtuanya yang jebol tapi
juga gigi oknum yang terlibat. Meskipun seandainya semua anak
tidak makan permen, para dokter gigi jangan-jangan akan cukup
menganggur hingga perlu di-inpres-kan untuk merawat gigi
orangutan di pedalaman Kalimantan.
Tapi bukankah sekarang ketahuan siapa biang keladinya? Iklan!
Saudara tua kita, Yayasan Lembaga Konsumen, 'kan sudah sering
bilang bahwa iklan itu mengacau pola konsumsi masyarakat?
Setuju, kata Anda sekarang manggut-manggut. "Advertising is
extravagant and socially wasteful," suara ini sayup-sayup
kedengaran dari India. Yang punya suara ternyata tidak kurang
dari Menteri Keuangan India sendiri.
Lucunya, jawaban terhadap pernyataan ini justru datang dari
Argentina. Di antara hiruk pikuk World Cup 1978, ternyata
Mercados y Tendecias jalan terus mengumpulkan pendapat umum yang
menghasilkan 73% suara mendukung perlunya iklan. Malahan, lebih
tegas lagi, 64% suara memprotes bahwa iklan bukanlah
penghamburan resources. Dus, tidak merupakan pemborosan.
Kok bisa begitu, ya? Ini suara 'kan datangnya dari konsumen!
Memang enak untuk berpikir bahwa iklan adalah bisnis yang tidak
etis dari sekelompok orang yang punya taste dan pembohong. Tahun
ini saja sudah tercatat dua pembaca TEMPO yang mohon agar iklan
dihapus saja dari halaman-halaman TEMPO.
Pak Permadi SH yang ombudsman konsumen itu juga sampai cape
menudingi iklan-iklan yang dianggapnya tidak etis, menipu,
keterlaluan, tidak sesuai dengan kode etik periklanan (yang di
negeri ini masih belum baku!), dan .... menjual consumer bads.
Dari Intelligence Summary yang saya terima tiap dua bulan dari
markas International Advertising Association, saya juga melihat
bagaimana hak-hak mengiklankan makin dipersempit dengan larangan
mengiklankan rokok dan minuman ber-alkohol di TV, larangan untuk
mengiklankan kepada anak-anak, larangan mengiklankan dietary
foods dan pembatasan-pembatasan lain yang seabreg-abreg.
Semuanya dengan alasan melindungi konsumen.
Amerika, negeri kapitalis yang banyak bergantung pada iklan,
tentu saja negeri pertama yang merasa cemas oleh aliran
konsumeris ini. Council of Better Business Bureau pun segera
didirikan pada tahun 1971 untuk melindungi industri dari tuduhan
semena-mena para konsumeris. "Penertiban diri" diteriakkan di
mana-mana, yang maksudnya adalah agar para pengiklan tahu diri
dan mengatur dirinya baik-baik sebelum pemerintah merasa
terpanggil untuk mengatur diri mereka dengan kekuatan
legislatipnya.
Selama 7 tahun dewan ini telah menerima 1174 protes konsumer
terhadap iklan dan consumer bads. Tapi ternyata hanya 12 perkara
saja yang perlu disidangkan. Hanya 1%.
Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari sana? Begini: kalau mau
jadi wasit sepakbola, Anda harus mengetahui segala seluk-beluk
persepakbolaan. Jelas, 'kan? Ini bukan olok-olok. Di Amerika
terjadi juga. FTC (Federal Trade Commission) pernah menuduh
'Listerine' (cairan pencuci mulut) sebagai penipuan. Listerine
pun dituntut untuk menyiarkan corrective advertising. Ternyata
FTC yang keliru dan dituntut balik oleh Listerine di Mahkamah
Tinggi. Tragis!
Bagaimana, sinyalemen Yayasan Lembaga Konsumen perlu ditanggapi
secara serius, agar consumer goods yang diiklankan tak perlu
dirubah namanya menjadi consumer bads. Lebih-lebih untuk
menempatkan cakrawala wawasan yang benar bahwa iklan tidaklah
sekedar usaha pembujukan konsumen oleh produsen, tapi adalah
proses yang penting dalam komunikasi antara seseorang dengan
lainnya.
Mudah-mudahan Dewan Periklanan Nasional yang baru terbentuk akan
bekerja ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini