Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mungkin Sebuah Pleidooi Buat Iklan

Iklan adalah bisnis tidak etis dari sekelompok orang yang punya taste & pembohong, pengacau pola konsumsi masyarakat. yayasan lembaga konsumen perlu serius agar consumer goods tidak menjadi consumer bads.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Mungkin Sebuah Pleidooi Buat Iklan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ANUGERAH Pariwara hadiah untuk iklan terbaik golongan consumer goods tahun ini diterima oleh iklan pers Kodak Instant Camera. Mungkin ironis, tapi seorang bernama W.K. Pedersen dari kantor pusat Kodak di Rochester sana pernah bilang secara gratis begini: "Harus saya akui bahwa masyarakat tidak perlu memiliki pesawat pemotret instamatik. Sama seperti mereka tak perlu memiliki mesin cuci, televisi berwarna dan bahkan mobil. Lihat saja nenek moyang kita yang bisa hidup nyaman tanpa semua alat-alat yang disebut di atas." Bravo, tuan Pedersen! Hip, hip, hurah! Tapi tunggu dulu! Pedersen ternyata cuma berhenti untuk menarik napas. Lanjutnya: "Soalnya nenek moyang kita dulu tak punya pilihan lain. Mereka minum air kali yang bukan main segarnya menurut mereka karena memang belum ada minuman botol Dr. Pepper atau Coca Cola." Ia pun berlanjut. "Nah, kalau kepada masyarakat lantas diberikan pilihan, maka tentu saja mereka akan memilih apa yang menurut mereka baik untuk memperkaya kehidupannya. Karena itu sangatlah tepat kalau barang-barang konsumsi dalam kamus ekonomi disebut consumer goods. Kalau memangnya barang-barang itu tidak membuat hidup manusia lebih nyaman dan baik, kenapa tak diberi nama consumer bads atau consumer indifferents?" Hadirin diam terpukau. Sampai lupa bahwa tuan Pedersen turun dari rostrum dengan sebuah tanda tanya untuk mereka. Dan tidak ada yang ingin menjawab. Tapi diakui bahwa memang ada consumer goods yang bikin bad kalau dikonsumsi secara tak senonoh. Contohnya, permen. Kalau seorang anak makan sepuluh permen dalam sehari, maka bukan hanya kantong orangtuanya yang jebol tapi juga gigi oknum yang terlibat. Meskipun seandainya semua anak tidak makan permen, para dokter gigi jangan-jangan akan cukup menganggur hingga perlu di-inpres-kan untuk merawat gigi orangutan di pedalaman Kalimantan. Tapi bukankah sekarang ketahuan siapa biang keladinya? Iklan! Saudara tua kita, Yayasan Lembaga Konsumen, 'kan sudah sering bilang bahwa iklan itu mengacau pola konsumsi masyarakat? Setuju, kata Anda sekarang manggut-manggut. "Advertising is extravagant and socially wasteful," suara ini sayup-sayup kedengaran dari India. Yang punya suara ternyata tidak kurang dari Menteri Keuangan India sendiri. Lucunya, jawaban terhadap pernyataan ini justru datang dari Argentina. Di antara hiruk pikuk World Cup 1978, ternyata Mercados y Tendecias jalan terus mengumpulkan pendapat umum yang menghasilkan 73% suara mendukung perlunya iklan. Malahan, lebih tegas lagi, 64% suara memprotes bahwa iklan bukanlah penghamburan resources. Dus, tidak merupakan pemborosan. Kok bisa begitu, ya? Ini suara 'kan datangnya dari konsumen! Memang enak untuk berpikir bahwa iklan adalah bisnis yang tidak etis dari sekelompok orang yang punya taste dan pembohong. Tahun ini saja sudah tercatat dua pembaca TEMPO yang mohon agar iklan dihapus saja dari halaman-halaman TEMPO. Pak Permadi SH yang ombudsman konsumen itu juga sampai cape menudingi iklan-iklan yang dianggapnya tidak etis, menipu, keterlaluan, tidak sesuai dengan kode etik periklanan (yang di negeri ini masih belum baku!), dan .... menjual consumer bads. Dari Intelligence Summary yang saya terima tiap dua bulan dari markas International Advertising Association, saya juga melihat bagaimana hak-hak mengiklankan makin dipersempit dengan larangan mengiklankan rokok dan minuman ber-alkohol di TV, larangan untuk mengiklankan kepada anak-anak, larangan mengiklankan dietary foods dan pembatasan-pembatasan lain yang seabreg-abreg. Semuanya dengan alasan melindungi konsumen. Amerika, negeri kapitalis yang banyak bergantung pada iklan, tentu saja negeri pertama yang merasa cemas oleh aliran konsumeris ini. Council of Better Business Bureau pun segera didirikan pada tahun 1971 untuk melindungi industri dari tuduhan semena-mena para konsumeris. "Penertiban diri" diteriakkan di mana-mana, yang maksudnya adalah agar para pengiklan tahu diri dan mengatur dirinya baik-baik sebelum pemerintah merasa terpanggil untuk mengatur diri mereka dengan kekuatan legislatipnya. Selama 7 tahun dewan ini telah menerima 1174 protes konsumer terhadap iklan dan consumer bads. Tapi ternyata hanya 12 perkara saja yang perlu disidangkan. Hanya 1%. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari sana? Begini: kalau mau jadi wasit sepakbola, Anda harus mengetahui segala seluk-beluk persepakbolaan. Jelas, 'kan? Ini bukan olok-olok. Di Amerika terjadi juga. FTC (Federal Trade Commission) pernah menuduh 'Listerine' (cairan pencuci mulut) sebagai penipuan. Listerine pun dituntut untuk menyiarkan corrective advertising. Ternyata FTC yang keliru dan dituntut balik oleh Listerine di Mahkamah Tinggi. Tragis! Bagaimana, sinyalemen Yayasan Lembaga Konsumen perlu ditanggapi secara serius, agar consumer goods yang diiklankan tak perlu dirubah namanya menjadi consumer bads. Lebih-lebih untuk menempatkan cakrawala wawasan yang benar bahwa iklan tidaklah sekedar usaha pembujukan konsumen oleh produsen, tapi adalah proses yang penting dalam komunikasi antara seseorang dengan lainnya. Mudah-mudahan Dewan Periklanan Nasional yang baru terbentuk akan bekerja ke sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus