Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSAH sekali menafikan kesan bermainnya ”kuasa kegelapan” dalam usaha mengungkap pembunuhan Munir Said Thalib, 12 tahun silam. Pegiat hak asasi manusia itu tewas di dalam pesawat Garuda Indonesia penerbangan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004. Di dalam jasadnya kemudian ditemukan racun arsenik dalam dosis mematikan.
Sejak itu, perkara Munir terkatung-katung di antara ranah realitas dan harapan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta 106 hari setelah terbunuhnya Munir, yakni pada 23 Desember 2004. Dalam selang waktu itu, para perancang dan pelaku pembunuhan mempunyai waktu cukup luang untuk melenyapkan atau mengaburkan barang bukti. Kurang dari tiga bulan kemudian, ”Tim 14” yang diketuai Brigjen Polisi Marsudi itu menemukan bukti: pembunuhan Munir merupakan hasil kejahatan konspiratif. Dokumen lengkap investigasi diserahkan ke Presiden Yudhoyono pada 24 Juni 2005.
Inilah titik awal mengambangnya temuan tim pencari fakta, hingga dua pekan lalu, majelis hakim Komisi Informasi Pusat mengabulkan permohonan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) agar pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan itu ke publik. Pemerintah punya waktu 14 hari untuk mengeksekusinya. Tapi, apa lacur, jauh sebelum tenggat itu sampai, para pejabat di kantor Sekretariat Negara menyatakan sesuatu yang melecehkan akal sehat: hasil investigasi itu tak ketahuan di mana.
Untuk sebuah negara modern, pernyataan itu sesungguhnya memalukan. Presiden Joko Widodo sudah dikenal dunia internasional melalui berbagai forum mondial. Apa kata dunia ketika mereka mengetahui Presiden Republik Indonesia yang fenomenal itu tidak mempunyai sistem dan kantor arsip yang bisa diandalkan sebagaimana semestinya? Jika pernyataan itu merupakan ”hasil konsultasi” dengan Presiden, dugaan berubah menjadi sesuatu yang disuratkan pada awal tulisan ini: bermainnya kuasa kegelapan.
Presiden tak bisa memandang enteng perkara ini. Tindakan Presiden memerintahkan Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia mengusut ”kehilangan” dokumen ini sungguh merupakan langkah tepat. Permintaan Istana agar mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut menjelaskan kekaburan dokumen ini tentu bukan ”permintaan” biasa, melainkan bisa berubah menjadi kewajiban bersaksi bila perkaranya naik ke ranah hukum. Ketika menerima dokumen itu 11 tahun silam, Yudhoyono didampingi oleh, antara lain, Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Kepolisian RI.
Indikasi ”kejahatan konspiratif” dalam perkara ini memang merupakan kendala yang tak bisa dinafikan. Bau busuk operasi intelijen sudah tercium sejak awal penyelidikan. Tapi, setelah pekan lalu A.M. Hendropriyono, Kepala Badan Intelijen Negara pada saat Munir terbunuh, mengulangi bantahan keterlibatannya kepada Koran Tempo, apa lagi yang harus ditunggu? Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi juga mengancamkan hukuman penjara dua tahun dan/atau denda Rp 10 juta bagi siapa yang menghilangkan dokumen informasi publik.
Para pembantu Presiden tak seharusnya menjadikan perkara ini tali kekang bagi ”kebebasan” Joko Widodo. Panji-panji yang dikibarkan Jokowi, ”Revolusi Mental”, sampai hari ini harus diakui baru sebatas semboyan. Pengungkapan kasus Munir harus menjadi bagian dari kebenaran panji-panji itu. Dalam perkara ini, Presiden harus bermain di wilayah terang, bukan di area temaram di bawah kuasa kegelapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo