Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN kepala daerah DKI Jakarta ternoda bahkan sebelum masa kampanye dimulai. Pernyataan kandidat inkumben Basuki Tjahaja Purnama di hadapan warga Kepulauan Seribu telah memicu riak rasial di media sosial dan di jalan-jalan raya.
Ahok, seperti yang sudah ia jelaskan, tak bermaksud buruk. Dalam pidatonya, dia mengatakan tidak mempermasalahkan warga Jakarta jika tidak memilihnya karena alasan agama. Tapi, lantaran dia mengutip Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51, sebagian publik menudingnya menghina Al-Quran dan Islam. Ada yang benar-benar marah. Banyak pula yang sekadar memanfaatkan pidato tersebut untuk menjatuhkan Ahok sekaligus memobilisasi massa agar mendukung jago mereka.
Propaganda rasial ini menghadap-hadapkan warga Jakarta, juga mereka yang berada di luar Ibu Kota, dalam dua kutub yang berbeda berdasarkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Keadaan ini sungguh patut disesali: memainkan isu rasial dan agama tidak bisa kita terima dengan alasan apa pun.
Calon dan partai pendukung adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan iklim kampanye yang sehat, damai, dan rasional. Belajar dari perkara pidato Ahok, mereka perlu lebih hati-hati berkomunikasi dengan publik. Sesuatu yang dianggap baik ketika diucapkan belum tentu dianggap baik pula oleh lawan bicara. Perlu pula disadari bahwa sentimen rasial tak selalu dipicu oleh kata dan tindak-tanduk kandidat dari kelompok mayoritas. Calon minoritas yang dalam kampanye sengaja menempatkan diri sebagai korban perbedaan suku, ras, atau agama juga bisa memancing gejolak rasial.
Menghindari sentimen SARA dalam berkampanye sama sekali bukan perkara sulit. Amat banyak bahan positif yang bisa didagangkan para calon. Mereka boleh memuji setinggi langit keberhasilannya di masa lalu, menjajakan program yang dipandang punya manfaat besar bagi publik, atau meniru strategi blusukan Presiden Joko Widodo, yang terbukti sukses mendulang suara pada pilkada 2012. Kampanye negatif, seperti membandingkan kecakapan sendiri dengan ketidakbecusan lawan politik, juga diizinkan asalkan didasari argumentasi yang rasional.
Memang, para kandidat tidak bisa mengendalikan pikiran dan pendapat publik. Tapi, jika mereka lebih hati-hati dalam bertutur dan mengedepankan dialog yang argumentatif, kampanye dalam pilkada pasti jauh lebih sehat. Apalagi tim kampanye Agus Harimurti-Sylviana Murni, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dibantu banyak profesional yang paham strategi kampanye yang tak menabrak etika.
Menjaga ”kewarasan” kampanye selayaknya juga dilakukan dengan mengendalikan tingkah laku pendukung di media sosial. Sekarang perang antarkandidat, terutama di Facebook dan Twitter, sudah terasa sengit meskipun periode kampanye baru dimulai pada 26 Oktober mendatang. Menurut data lembaga riset PoliticaWave, dalam periode satu minggu saja sejak 28 September hingga 4 Oktober lalu, jumlah percakapan mengenai tiga pasang calon di media sosial mencapai 243 ribu.
Serang-menyerang di media sosial berlangsung brutal. Para pendukung kerap saling cela tanpa dasar dan tanpa argumentasi yang memadai. Tidak jarang mereka menyebar isu yang belum diverifikasi kebenarannya atau menyebarkan gosip dari situs-situs yang kredibilitasnya diragukan.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menyatakan akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memantau pelanggaran kampanye. Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta juga mewajibkan tim pemenangan pasangan calon melaporkan semua akun media sosial yang mereka gunakan untuk kampanye. Tapi, persoalannya, saat ini proses pilkada DKI belum masuk periode resmi kampanye, sehingga baik KPU maupun Bawaslu tidak bisa menegur apalagi menjatuhkan sanksi atas propaganda buruk tersebut. Pendukung calon umumnya juga bergerilya diam-diam, misalnya, dengan menggunakan identitas palsu.
Para calon wajib mengendalikan pendukungnya agar lebih santun dan menjauhi ungkapan-ungkapan kebencian. Kandidat sedianya tidak membiarkan perilaku buruk itu dengan bersembunyi di balik kebebasan dan kerelawanan publik. Tak sulit menduga pasukan media sosial pembela kandidat adalah pasukan yang diorganisasi tim sukses.
Kita harapkan tahap-tahap pilkada berikutnya dapat berlangsung damai dan demokratis. Kandidat dan pendukungnya hendaknya bersikap lebih rasional dan tidak rasis. Pilkada memang penting, tapi selayaknya tidak diselenggarakan dengan mengorbankan kebersamaan dan kemajemukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo