Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritas Jasa Keuangan mesti berhati-hati dalam menyelesaikan kredit seret (nonperforming loan) perbankan nasional. Ada potensi terjadinya moral hazard, terutama dalam pelaksanaan kebijakan restrukturisasi utang bermasalah. Otoritas harus belajar banyak dari pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998-2004.
Selama delapan bulan pertama tahun ini, angka kredit seret terus meningkat. Per Agustus lalu, rasio kredit seret ini sudah di angka 3,22 persen, naik 72 basis point dibanding akhir 2015. Kondisi ini mengkhawatirkan karena belum ada tanda-tanda perbaikan. Pertumbuhan kredit melambat, angka kredit seret malah meningkat. Diperkirakan kredit seret terus naik pada bulan-bulan mendatang.
Saat ini, yang paling berisiko adalah sektor pertambangan. Rasio kredit seret sektor ini, Juli lalu, mencapai 6,77 persen, melampaui batas aman yang ditetapkan regulator sebesar 5 persen. Hal ini terjadi akibat jatuhnya harga batu bara dalam lima tahun terakhir. Harga pengiriman pada Juni tahun ini hanya separuh dari harga Juni 2012. Dampaknya, pada September lalu, ada 112 pengajuan penundaan pembayaran utang, bahkan 45 perusahaan tambang dinyatakan pailit.
Kondisi itu diperkirakan tak pulih dengan cepat. Pertumbuhan sektor pertambangan masih minus. Pertumbuhan kredit yang disalurkan ke sektor ini juga negatif. Hampir tak ada perusahaan tambang yang utangnya tak macet. Modal beberapa perusahaan malah sudah negatif. Meskipun proporsi kredit ke sektor pertambangan hanya 3 persen dari total kredit perbankan, per Juni 2016, pengaruhnya pada rasio kredit seret secara total cukup tinggi.
Otoritas Jasa Keuangan sebetulnya tak berdiam diri. Tahun lalu, Otoritas merilis sejumlah kebijakan yang melonggarkan aturan restrukturisasi utang bermasalah. Kebijakan ini membuat perbankan lebih fleksibel mengelola debitor yang memiliki masalah arus kas atau utang. Salah satunya dengan memberi kesempatan bank mengambil alih kepemilikan dan manajemen debitor macet—dengan kepemilikan maksimal 20 persen dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Kendati lebih memudahkan perbankan, secara keseluruhan, dampak kebijakan ini masih kecil. Sebagai contoh, kredit macet kategori lima atau terburuk pada April lalu masih naik hampir 40 persen. Bandingkan dengan pertumbuhan debitor lancar yang hanya 6,5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum mampu keluar dari krisis berkepanjangan ini.
Secara internal, banyak bank sudah membuat unit khusus seperti ”BPPN mini” untuk menangani kredit bermasalah. Otoritas harus mengawasi pelaksanaannya. Lembaga ini harus belajar pada pengalaman BPPN. Banyak moral hazard yang terjadi pada masa itu. Misalnya, debitor kakap pemilik aset juga yang ujung-ujungnya membeli kembali aset mereka yang sudah direstrukturisasi dengan harga sangat murah, rata-rata hanya 28 persen.
Hampir semua debitor pengemplang utang juga tak tersentuh hukum meskipun banyak dari mereka yang melanggar aturan perbankan, memanipulasi nilai proyek atau aset, juga mendirikan usaha-usaha fiktif. Beban krisis perbankan pada 1998-2004, berupa obligasi rekap, masih harus ditanggung rakyat sampai sekarang. Selain itu, masih banyak aset eks debitor kakap lembaga tersebut yang tak bisa dijual, sementara pemiliknya sudah berleha-leha di luar negeri. Otoritas Jasa Keuangan sebaiknya tidak mengulangi sejarah kelam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo