Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita mungkin terenyak melihat anak perusahaan Rupert Murdoch menguasai 20 persen saham ANTV. Kita bisa membayangkan pembicaraan-pembicaraan strategis di perusahaan pusat, News Corporation, di Australia itu berakhir dengan satu kesimpulan: telunjuk kaisar di dunia media itu mengarah ke satu titik, Indonesia.
Perlahan, jaringan dan modal raksasa itu mulai bergerak ke negeri ini, dan getarannya pun langsung terasa. Baik Star Inc. maupun kelompok Bakrie menolak menyebut nilai kerja sama itu, tapi Anindya Bakrie, Presiden ANTV, memberikan gambaran transaksi itu meliputi ”multi-jutaan dolar”.
Ya, Rupert Murdoch telah menerobos lebih dalam lagi ke negeri ini. Sebelumnya, perusahaan yang bermarkas di Hong Kong ini menyodorkan aneka produk televisi satelit dan kabel: ESPN, Star Sport, Star Movies, dan Sky News. Sekarang, program mereka bisa muncul di layar kaca tanpa dekoder ataupun kabel. Dari sini, imajinasi kita pun terbang tinggi. Bukankah ANTV dikuasai Grup Bakrie, milik keluarga Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Ekonomi saat ini? Seorang menteri yang masih aktif, modal raksasa, plus jaringan media mahaluas, adalah kombinasi menakutkan.
Ancaman bagi kita, tapi langkah alternatif bagi Murdoch. Indonesia mungkin tak lebih dari sebuah pasar yang gemuk: berpenduduk 230 juta, dengan pertumbuhan iklan televisi 30 persen per tahun. Dan tahun ini, pangsa iklan televisi diperkirakan mencapai Rp 5,5 triliun. Tapi apakah poin-poin itu merupakan prioritas utama di dalam kepala seorang Murdoch? Sejauh ini, kita tahu, Rupert Murdoch sedang ”patah hati” menghadapi pemerintah Cina di bawah kepemimpinan Presiden Hu Jintao.
Murdoch seorang pedagang sejati. Tapi bertahun-tahun ia telah menunjukkan ”kesetiaan”nya (baca: kepekaannya) kepada pemerintah Cina, melalui pelbagai kompromi yang dilakukannya. Pada 1993 ia memang pernah mengungkap ”televisi merupakan ancaman bagi pemerintah totaliter di mana pun”. Tapi, sejak itu ia pantang melontarkan pandangan mengecam para pemimpin Cina. Ia membatalkan penayangan program BBC yang kritis terhadap Cina. Perusahaan percetakannya juga menolak menerbitkan buku Chris Patten, gubernur Hong Kong terakhir yang tak sepaham dengan Cina. Bahkan kakek yang kini berusia 74 tahun ini menikahi Wendi Deng, seorang eksekutif Cina.
Simbiosis cepat terjadi. Sebaliknya, pemerintah Cina menutup mata terhadap penayangan acara-acara kritis yang dilancarkan secara gelap. Mereka tak keberatan, sejauh acara itu menyinggung hal-hal di luar para tokoh pemerintahan.
Tapi dunia berubah. Presiden Hu Jintao yang gencar membersihkan Cina dari pengaruh media asing mendudukkannya dalam posisi ”tertuduh” bersama-sama media Barat seperti Viacom dan Disney. Pemerintah Cina sedang mencoba membuktikan keterlibatan perusahaan lokal rekaan News Corporation dalam sebuah tindakan berbahaya: membagi-bagikan dekoder kepada masyarakat umum.
Cina bukan pasar raksasa yang nyaman, dan Rupert Murdoch mulai mengalihkan perhatian kepada alternatif lain. Termasuk Indonesia, yang mengizinkan seperlima perusahaan media di tangan investor asing. Negeri yang—tentu saja—lebih bebas daripada Cina, mungkin dengan bargaining power lebih lemah daripada Cina, namun masih memelihara sedikit nasionalisme sebagai batas ekspansinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo