Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAS terkesan tak ada yang keliru dengan surat Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat yang dikirim dua pekan lalu itu, dengan tembusan antara lain kepada Dewan Perwakilan Rakyat, mengingatkan Presiden agar tidak lagi menggunakan Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas sebagai konsiderans kebijakan pemerintah. Undang-Undang Minyak dan Gas telah dikoreksi Mahkamah melalui proses judicial review pada Desember tahun lalu. Tiga pasal undang-undang itu sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Kebijakan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 55/2005 yang menjadi landasan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak belum lama ini.
Tentang kebijakan menaikkan harga minyak sudah sering ditulis. Majalah ini juga tidak ingin mempersoalkan isi surat Ketua Mahkamah Konstitusi. Yang ingin disorot, apakah Mahkamah memang mempunyai kewenangan mengingatkan atau menasihati Presiden.
Kewenangan Mahkamah diatur UU Nomor 24/2003. Disebutkan, Mahkamah berwenang menguji undang-undang terhadap konstitusi, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan pemilu.
Dalam hal ada pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang menduga Presiden atau wakilnya melakukan pelanggaran hukum, Mahkamah diwajibkan memberikan putusan atas dugaan itu. Pelanggaran hukum yang dimaksud berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela yang membuat Presiden atau wakilnya tak lagi memenuhi syarat untuk menjabat.
Memang benar, seperti dijelaskan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie, dalam jumpa pers setelah suratnya diterima Presiden dan DPR, lembaganya tidak bermaksud menilai kebijakan pemerintah ataupun materi peraturan pemerintah. Jimly mengatakan ia dan lembaganya hanya mengingatkan bahwa undang-undang yang dijadikan rujukan dalam peraturan pemerintah itu tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berlaku final dan mengikat.
Tapi justru di sinilah letak inti persoalannya. Menegur, meluruskan, atau menulis surat untuk memperingatkan Presiden tidak termasuk kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi. Betapapun mulia niat yang ingin ditunjukkan, Mahkamah Konstitusi sudah berada di luar fungsi dan kewenangannya.
Dalam konteks harga bahan bakar minyak ini, tak ada undang-undang untuk diuji terhadap konstitusi, tak ada pendapat DPR yang menyatakan pemerintah melakukan pelanggaran hukum. Singkatnya, tidak ada satu alasan pun yang mengharuskan Mahkamah Konstitusi terpanggil untuk menjalankan fungsi dan kewenangannya. Bertindak di luar wewenang bisa-bisa mendatangkan sangkaan bahwa lembaga tinggi itu diam-diam justru sedang melanggar konstitusi.
Dampak lain yang sudah terjadi, surat Ketua Mahkamah Konstitusi itu dijadikan bahan bakar baru untuk menentang kenaikan bahan bakar minyak, bahkan usaha pemakzulan Presiden. Tak ada yang aneh dengan protes terhadap kenaikan harga minyak atau usaha pemakzulan Presiden sekalipun, asal sesuai dengan ketentuan hukum. Tapi semestinya Mahkamah Konstitusi menempatkan diri, juga hasil kerjanya, jauh-jauh di luar wilayah politik.
Kalau ingin membantu, Mahkamah Konstitusi bisa mencari cara lain untuk menyampaikan pandangannya kepada Presiden—cara yang tidak membuatnya dituduh memasuki arena politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo