Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Nagasasra & Sabukinten

Kurang-lebih setengah abad yang lalu, dari Yogya terbit satu seri cerita silat berlatar sejarah Jawa abad ke-16, Nagasasra dan Sabukinten. Kisah yang ditulis S.H. Mintardja ini berakhir setelah sekitar 30 jilid. Tiap jilidnya laris. Penggemarnya luas.

26 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nagasasra & Sabukinten

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti umumnya cerita silat, ia dibangun dengan adegan-adegan seru, suspens yang nyaris tanpa jeda—yang menyebabkan pembaca tak mau lepas. Mintardja pencerita yang baik, meskipun ia sering mengisi paragrafnya dengan deskripsi yang repetitif. Di banyak bagian, kalimatnya tak rapi, hanya daur ulang lukisan tentang ilmu-ilmu silat yang dahsyat.

Sang penulis, tentu saja, lebih mengutamakan adegan perkelahian. Dari dia kita tak cukup mendapat gambaran tentang Kerajaan Demak setelah Syekh Siti Jenar, seorang sufi, dibunuh para wali. Tak cukup terbayang ketegangan sosial antara perguruan silat yang mengajarkan “ilmu” gaib dan pemeluk Islam di masa awal itu.

Themanya biasa: pertarungan antara pendekar yang baik budi dan “kelompok hitam”. Di sebelah sini, tokoh utamanya Mahesa Jenar, bekas perwira kesatuan Nara Manggala, pasukan pengawal raja. Di sebelah sana beberapa nama yang seram (Lawa Ijo, Uling Putih, dan Uling Kuning), dan terutama seorang tokoh misterius yang berjubah, bertopeng, dan menyebut diri Pasingsingan.

Di awal cerita, kita menemui Mahesa Jenar meninggalkan jabatannya di Demak, ketika kerajaan dalam keadaan suram di tengah konflik berdarah antara para wali dan pengikut Syekh Siti Jenar. Tapi, kata yang empunya cerita, “Kesetiaannya kepada Demak tidak juga susut.” Sampai buku terakhir Mahesa Jenar melihat diri sebagai orang buangan, tapi pada saat yang sama pendekar ini hendak menemukan dua keris pusaka kerajaan yang dicuri. Ia berhasil merebut keduanya kembali dari para pendekar “golongan hitam”, dan di akhir cerita, keris Nagasasra dan Sabukinten itu ia persembahkan kepada Sultan Trenggono. Semua, seperti lazimnya cerita jenis ini, berakhir baik.

Dalam proses itu, kisahnya berliku-liku: begitu banyak tokoh, petarung, tempat, jenis kesaktian. Mungkin ini siasat pemasaran penulis dan penerbitnya—agar selalu ada jilid yang terbit dan uang masuk—tapi mungkin pula kisah fiktif ini secara intuitif menangkap satu faset penting dalam sejarah politik: kekuatan selalu tersebar, bertaut atau bertarung dengan kekuatan lain, tapi pada gilirannya ada sebuah kekuasaan yang membuatnya lebih dari sekadar keributan: sebuah kekuasaan simbolik.

Dalam cerita Mintardja, kekuasaan simbolik itu diwujudkan dalam kedua keris pusaka yang dilukiskan menakjubkan itu. Di satu adegan, Mahesa Jenar dan seorang pendekar lain memasuki sebuah ruangan tempat senjata itu disembunyikan:

Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti patung.

Ada kekuatan—dengan apa persaingan terjadi dan berbenturan. Ada kekuasaan—sesuatu yang lebih subtil, karena di dalamnya tersimpan lambang-lambang yang mengukuhkannya dan diperebutkan.

Kedua keris itu, misalnya. Bahkan tanpa dipergunakan siapa pun, mereka punya aura dan membawa “takhayul” tersendiri. Seperti dikatakan Samparan, seorang tokoh dalam Nagasasra dan Sabukinten, di kalangan “golongan hitam” ada kepercayaan bahwa barang siapa memiliki pusaka itu akan cukup kekuatan untuk menyusun suatu pemerintahan tandingan bagi Kerajaan Demak.

Kekuasaan dan tenaga simbolik tentu saja tak datang secara a priori. Ia tak berasal dari satu sumber dan tak pula menetap. Ia dibentuk oleh kontra-kekuasaan yang majemuk. Ia lahir dari benturan yang fisik dan yang bukan, ia juga lahir dari benturan wacana. Ia tumbuh dari hasrat, terutama hasrat kolektif, yang melahirkan imajinasi, mithos, dan narasi.

Maka dalam kisah ini, “menang” dan apa itu “kalah” tak hanya ditentukan oleh kenyataan bahwa yang satu tersungkur dan yang lain masih bisa berdiri tegak. Di lereng Bukit Menoreh yang sunyi atau di arena Asian Games, kalah dan menang ditentukan bukan oleh kekuatan yang mentah dan wungkul, melainkan oleh konsensus, baik yang dinyatakan maupun tidak, oleh protokol, oleh bahasa.

Kata dan bahasa amat penting. Dalam penuturan Mintar-dja, pelbagai siasat silat diberi nama: “Aji Rog-rog Asem”, “Braja Geni”, “Aji Lembu Sekilan”. Kata-kata itu menyarankan lambang kekuatan dan kekerasan, semacam gertak, atau bahkan semacam mantra.

Tapi begitu besarkah daya bahasa, kekuasaan simbolik?

Roland Barthes berlebihan ketika ia mengatakan bahwa bahasa adalah “fasis”: kekuasaan (kolektif) yang membentuk hal-ihwal hidup kita. Tapi hidup memang punya makna yang lebih, ketika manusia membangun narasi. Hidup bukan hanya aksi. Nagasasra dan Sabukinten memikat pembaca bukan karena pertempuran yang terpisah-pisah di hutan sunyi.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus