PERSOALAN narkotik memang sering membingungkan. Apalagi bila harus turun ke lapangan. "Pertentangan" antarprofesi kerap terjadi, seperti diungkapkan berita berjudul Hukumnya Rohipno/ (TEMPO, 11 Mei, Hukum). Banyak, banyak sekali, yang menarik dalam laporan singkat itu. Pertama, tentang apa itu Rohipnol (Rohypnol). Nama itu sebenarnya nama dagang yang diberikan pabriknya, Roche. Nama generiknya Flunitrazem: S-(O-fluorophenyl)-1, 3-dihydro-1-methyl-7 nitro-2H-1, 4-benzodiazepine-2-one. Yakni zat yang berkhasiat punya sifat sedatif (penenang), membuat mengantuk/menidurkan - berkhasiat terhadap kegelisahan, relaksasi otot, dan terhadap kejang. Sifatnya makin kuat manakala dicampur dengan obat-obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP). Juga bila dicampur dengan alkohol, yang konon amat hebat. Apakah obat itu menyebabkan ketergantungan (terutama fisik atau kecanduan)? Kurang jelas. Karena itu, menarik pula hal kedua dalam laporan itu: pengakuan Bastanta yang kecanduan Rohypnol sejak 1979. Ia, katanya, akhirnya ketagihan, dan setiap hari menelan empat pil, tulis TEMPO. Itu menarik buat diteliti . Rohypnol, seperti juga benzodiazepline lain dan beberapa jenis obat, termasuk golongan obat psikotropika - obat-obat yang menghasilkan efek terhadap fungsi mental (proses pikir dan emosional), tingkah laku, dan penghayatan, singkatnya obat-obat yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa. Obat psikotropika jelas bukan narkotik. Dan obat-obat yang sejak dulu banyak disalahgunakan ini tidak akan kita temukan dalam daftar narkotik sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotik. Karena itu, menarik pula apa yang dilaporkan TEMPO berikutnya, "Dalam pertemuan penegak hukum Sumatera Utara Februari lalu, disepakati pula bahwa Rohipnol tergolong narkotik." Dalam sistem distribusinya di Indonesia, obat dibagi menjadi empat golongan. Yakni obat bebas (OTC), obat bebas terbatas (Daftar W), obat keras (Daftar G), dan obat narkotik (Daftar O). Obat psikotropika termasuk golongan obat keras atau obat-obat Daftar G. Seseorang hanya dapat memperolehnya dari apotek berdasarkan resep dokter. Lantas, dari mana munculnya obat-obat psikotropika (Rohypnol dan semacamnya) yang beredar di kalangan penyalah guna? Jawabannya tentu macam-macam. Menghadapi penyalahgunaan obat, khususnya obat psikotropika, memang terasa sulit. Iika bukan narkotik, tentu tidak dapat digunakan UU Nomor 9 Tahun 1976 itu. Barangkali Ordonansi Bahan Berbahaya yang dikeluarkan di Batavia pada 9 Desember 1949 dapat digunakan, dan pelakunya bisa dihukum 3 bulan atau denda setinggi-tingginya 5.000 gulden. Walau begitu, banyak yang berharap hadirnya undang-undang atau peraturan yang khusus mengatur bahan-bahan atau obat psikotropika. Itu memang ditunggu-tunggu. Apalagi makin banyak terdengar penyalahgunaannya. Meski bila ditanyakan berapa sebenarnya jumlah pecandu psikotropika di Indonesia, sulit menunjukkannya - sebagaimana sulitnya menemukan jumlah obat-obat itu yang beredar di Indonesia secara resmi. Yang pasti, pengawasan tampaknya perlu lebih ditegakkan. B. ARITONANG Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini