Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sama Dengan Mati?

Sanusi, 65, pimpinan Muhammadiyah, yang dituduh membiayai & memberi detonator dalam kasus BCA, naik banding setelah divonis 19 th penjara PN Jak-Bar. Majelis hakim menolakpencabutan keterangan saksi. (nas)

25 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

H.M. Sanusi tampak lemas. Ia lebih banyak menundukkan kepala selama majelis hakim - Hakim Ketua Sarwoko, Bambang Soeparyo, dan Ismail - membacakan vonis yang memakan waktu lebih dari tiga setengah jam. Sebuah tas jinjing cokelat dan sebuah notes ditaruh di atas pahanya. Wajahnya serius, tapi tidak tegang. Ketegangan justru terlihat di wajah anak-anak dan menantunya, yang Rabu pagi pekan lalu itu duduk bersama sekitar 200 pengunjung di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Beberapa tokoh Muhammadiyah, antara lain Lukman Harun dan Projokusumo, tampak di tengah hadirin. Sanusi adalah salah seorang pimpinan PP Muhammadiyah. Tampak juga beberapa anggota Petisi 50, seperti Ali Sadikin, Syafruddin Prawiranegara, Anwar Haryono, dan Hoegeng. Ny. Sanusi, yang tampaknya sangat tegang, memilih duduk di luar ruang sidang. Menjelang vonis dibacakan, Sanusi - yang sebelumnya dituntut hukuman mati itu - diminta berdiri. Dengan wajah polos, menteri perindustrian tekstil dan kerajinan rakyat 1966-1968 itu pun mendengarkan keputusan hakim. "Terdakwa Ir. H.M. Sanusi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana subversif. Dengan demikian, terdakwa dikenakan hukuman sebesar 19 tahun penjara potong tahanan." Sanusi tampak loyo begitu mendengar vonis hakim. Setelah duduk kembali, kedua pundaknya sebentar-sebentar terangkat ke atas. Waktu ditanya apakah ia akan naik banding, Sanusi menyahut, "Saya sunguh terkejut." Ia kemudian berbicara sebentar dengan pembelanya, Dault, yangkemudian berkata dengan keras, "Putusan ini kami rasakan berat sekali. Kami banding." Sanusi kemudian menandatangani permohonan banding itu. Jaksa kemudian juga menyatakan banding. Majelis Hakim dalam pertimbangan keputusannya ternyata menolak pencabutan keterangan para saksi - seperti Tashrif Tuasikal, Rachmat Basoeki, dan Hasnul Arifin - dalam berita acara pemeriksaan (BAP), yang semula memberatkan Sanusi. Tashrif misalnya, dalam kesaksiannya mencabut keterangannya semula dalam BAP, yang menyatakan bahwa ia menerima sejumlah detonator dan uang Rp 500 ribu dari Sanusi lewat Rachmat Basoeki. Tashrif mencabut keterangannya dengan alasan ia tidak yakin bahwa uang Rp 500 ribu itu berasal dari Sanusi. Keterangannya semula kepada penyidik umum diberikan karena terpengaruh dan terbayang waktu ia diperiksa sebelumnya pada prapenyidikan, yang dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, dan pemukulan, sehingga mempengaruhi keterangannya. Rachmat Basoeki juga menarik keterangannya, yang dijadikan patokan kebenaran tuduhan oleh jaksa. Dalam BAP, Rachmat menjelaskan bahwa pada 27 September 1984, bersama Tashrif dan Hasnul Arifin, ia menemui Sanusi di kantornya, dan memberi tahu bahwa Tashrif punya proyek peledakan yang sasarannya gedung BCA. Sanusi kemudian memanggil Rachmat ke meja kerjanya dan memberi Rp 500 ribu dalam pecahan puluhan ribu, yang setelah dihitung dimasukkan Rachmat ke saku celana belakangnya. Rachmat bertiga kemudian langsung ke rumah Tashrif, dan di situlah Rachmat menyerahkan uang itu kepada Tashrif. Tapi dalam kesaksian dan pembelaannya, Rachmat mengemukakan bahwa bersama Tashrif pada 27 September itu ia memang menemui Sanusi di kantornya. Sebab, hari itu Sanusi menjanjikan kepadanya uang bantuan untuk membeli Vespa. Setelah 15 menit, dan Sanusi belum juga memberikan uang, Tashrif tidak sabar dan mengatakan pada Sanusi bahwa ia memerlukan uang untuk peledakan. Sanusi menjawab, ia sendiri sedang kesulitan uang, "dan saya hidup indekos pada istri". Sanusi kemudian memangmemberikan Rp 60 ribu pada Rachmat sebagai bantuan transpor untuk dua bulan, yang biasanya memang diterimanya. Menurut Rachmat, uang Rp 500 ribu yang diberikannya kepada Tashrif adalah uang pribadi yang diambilnya dari rumah, dengan sepengetahuan istrinya. Tidak mungkin ia menerima Rp 500 ribu lalu menyimpannya di saku celana belakang karena akan terlalu menonjol. Lebih-lebih, ia pulang membonceng skuter Hasnul, jadi terlalu besar risikonya uang sebanyak itu ditaruh di saku celana belakang. Rachmat menandatangani BAP karena mengalami tekanan psikis setelah melihat keadaan Hasnul Arifin yang mukanya bengkak dan sekujur badannya babak belur. Ia juga takut bila istrinya yang sakit jantung itu diambil Jaksa. Namun, menurut Majelis Hakim semua alasan itu "tidak didukung kebenarannya dengan alat-alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan hukum". Tim penasihat hukum juga tidak memberikan bukti-bukti. Oleh sebab itu, pencabutan itu tidak berdasarkan alasan hukum. "Majelis menolak pencabutan, dan keterangan dalam BAP itu sah." Secara panjang lebar Majelis Hakim kemudian tiba pada kesimpulan: Secara tidak langsung terdakwa telah membiayai peledakan gedung BCA dan jembatan Glodok, 4 Oktober 1984. Terdakwa juga terbukti secara tidak langsung telah memberikan detonator untuk peledakan. Tindakan terdakwa ingin melakukan riset atas Peristiwa Priok membuktikan bahwa tindakan subversif terdakwa bermotif politik. Yang meringankan terdakwa: peranannya dalam menegakkan kemerdekaan dan jabatannya sebagai menteri serta anggota DPR. "Bagaimanapun, terdakwa adalah seorang dari putra Indonesia yang terbaik." Yang memberatkan, sebagai intelek seharusnya ia lebih bisa mengendalikan din dan menyalurkan aspirasl politiknya secara konstitusional. Seusai vonis, Sanusi mengatakan, "Mereka (hakim dan jaksa) itu cuma ngomong, tapi tidak bisa membuktikan (asal) uang setengah juta itu. Saya benar-benar tidak memberikannya. Kalau masih ada dongengan seperti itu, ya bagaimana demokrasi ini." Ia semula mengharapkan jaksa dan hakim akan "lebih logis". Hakim Bambang Soeparyo menganggap, "Vonis 19 tahun itu sudah manusiawi." Ia menolak mengungkapkan alasannya karena pertimbangan itu termasuk rahasia negara. Yang paling terpukul keluarga Sanusi. Malam hari menjelang vonis, keluarga Sanusi berkumpul di rumahnya untuk mendoakan Sanusi. "Bapak sudah tua. Hukuman 19 tahun itu 'kan sama dengan hukuman mati," kata salah seorang putranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus