HUBUNGAN dagang langsung Indonesia-RRC tampaknya belum akan segera terwujud. "Masih ada beberapa masalah yang perlu diselesaikan," kata sebuah sumber. Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, menurut ketua umumnya, Sukamdani S. Gitosardjono, mengatakan bahwa pihaknya telah siap berangkat ke RRC. Namun, sebelum itu akan ditandatanani suatu memorandum of understanding (MOU) dengan RRC mengenai perdagangan langsung itu. Penandatanganan itu akan dilakukan di Hong Kong atau Singapura, antara Kadin dan Badan Promosi Perdagangan Internasional RRC (CCPIT). Kabarnya, rumusan MOU kini sedang dirundingkan. Masih ada beberapa hal yang belum klop. Pihak Indonesia kabarnya ingin "membersihkan" MOU itu dari semua hal yang berbau politis atau yang bisa dikaitkan dengan politik. Misalnya, Indonesia tidak setuju dengan penyebutan RI dan RRC, tapi hanya mau menyebut Cina dan Indonesia. Untuk lebih mengetahui posisi dan peranan Indonesia dalam perdagangan langsung dengan Cina itu, Susanto Pudjomartono dari TEMPO pekan lalu menemui Menmud/Sekretaris Kabinet Moerdiono, yang ditunjuk Presiden sebagai koordinator masalah hubungan dagang langsung dengan Cina itu. Petikan wawancara: Bagaimana sebetulnya kebijaksanaan pemerintah mengenai hubungan dagang langsung dengan Cina? Pemerintah ingin memperluas hubungan ekonomi ke luar negeri. Ini tentunya dengan negara mana saja, tanpa membedakan sistem sosial, ekonomi, dan politik. Ini juga dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi. RRC, sebagai negara dengan penduduk demikian besar dan sedang membenahi ekonominya, tentunya memerlukan banyak sekali bahan untuk pembangunannya. Sehingga secara potensial, RRC merupakan pasaran baik untuk ekspor nonmigas kita. Tapi kita tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan RRC. Karena itu, pihak swasta Indonesia, dalam hal ini Kadin, mengambil prakarsa untuk menjajaki kemungkinan hubungan dagang langsung itu. Apabila kedua pihak bisa mencapai kesepakatan, tentunya pemerintah menyediakan berbagai fasilitas untuk memungkinkan hubungan dagang langsung itu. Tahapan apa saja yang harus ditempuh? Pertama penjajakan antara kedua pihak. Dan itu sudah terjadi pada 30 Januari 1985 di Singapura. Sesudah itu mereka mencapai kesepakatan, yang kemudian ditandatangani. Dan kesepakatan yang ditandatangani itu baru bisa berlaku apabila disetujui pemerintah masing-masing. Nah, pada saat pemerintah Indonesia memberi fasilitas-fasilitas yang saya katakan tadi itulah hubungan dagang langsung bisa diadakan. Sesudah itu pemerintah Indonesia tidak akan berkeberatan apabila ada delegasi dari Kadin akan berkunjung ke Daratan Cina atau sebaliknya kalau ada delegasi Cina mau datang ke sini. Dan apabila tiba waktunya, dan dianggap perlu oleh kedua pihak, mungkin saja dibuka kantor perwakilan dagang di kedua negara. Jadi, kita tidak menyuruh atau mengharuskan. Kalau mereka mau mengadakan itu, pemerintah tidak akan keberatan. Sekarang ini kita sampai pada tahap mana? Sekarang masih dalam tahap penjajakan karena belum ada penandatanganan. Setelah penandatanganan dan disetujui pemerintah, fasilitas-fasilitas, seperti bagaimana cara membuka L/C, hubungan komunikasi, pemberian visa, dan pengaturan kapal, akan diberikan pemerintah. Pemerintah akan menginstruksikan kepada aparaturnya untuk membantu kelancaran hubungan dagang itu. Jadi, misalnya, kalau pemerintah tidak mengizinkan, 'kan kapal RRC tidak bisa bersandar di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Jadi, hubungan teleks, telepon, pengiriman uang langsung akan diizinkan? Sekali lagi, itu bergantung pada kesepakatan yang mereka capai. Tapi, semua sarana yang diperlukan untuk memperlancar hubungan dagang akan diberikan. Jadi, kalau mereka tidak memandang perlu hubungan penerbangan langsung, 'kan kita tidak usah kasih. Pokoknya, fasilitas yang diberikan itu yang dipandang perlu. Perlakuan kita kepada RRC itu biasa-biasa saja, normal, tidak ada kekhususan. Baik kekhususan untuk mendorong maupun untuk melarang. Jadi, kapal berbendera RRC nanti boleh masuk pelabuhan Indonesia? Ya, kalau mereka ingin masuk ke sini, dan dianggap perlu, saya tidak melihat alasan untuk keberatan. Hubungan dagang langsung ini 'kan berarti hubungan yang lebih luas dan terbuka dengan RRC dibanding dulu. Sedang selama ini banyak yang menganggap RRC sebagai ancaman. Bagaimana pengamanannya agar hubungan dagang langsung ini tidak berakibat negatif? Ketahanan nasional kita 'kan sudah meningkat. Dan kita punya aparat keamanan yang bisa menanggulangi segala bentuk subversi dari mana pun. Apakah dalam perwakilan dagang itu nanti akan ada wakil dari unsur pemerintah? Dari pihak Indonesia tidak ada. Kalau dari pihak RRC ada wakil pemerintah, kita tetap menganggapnya perwakilan dagang, bukan wakil pemerintah. Pembatasan jumlah personil di perwakilan dagang? Saya kira hal itu terlalu pagi untuk dijawab. Belakangan ini, dengan RRC kita mulai bersaing juga, misalnya dalam pasaran minyak di Jepang. Apakah ini tidak mempengaruhi hubungan dagang langsung? Saya kira tidak. Namun, kita memang perlu realistis dan jangan mengharapkan yang bukan-bukan. Kita mesti bersaing dengan barang-barang negeri lain yang masuk ke sana. RRC juga harus bersaing dengan barang negara lain yang dijual ke Indonesia. Ya, semua kita perlakukan normal saja. Di kalangan pengusaha Indonesia tampaknya ada semacam "persaingan" untuk dulu mendahului mengunjungi Beijing. Apakah ini tidak merugikan? Yang mewakili swasta Indonesia itu Kadin. Dan pemerintah cuma tahu Kadin yang dipimpin ketua umumnya. Biar ada pengusaha yang ke sana tidak atas nama Kadin, toh mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi fasilitas yang diberikan pemerintah memang akan dlberikan pada semua pengusaha yang memenuhi syarat. Pihak RRC tampaknya ingin mengaitkan hubungan dagang langsung itu sebagai tahap untuk normalisasi hubungan diplomatik. Bagaimana? Ada negara-negara yang tidak punya hubungan diplomatik, tapi hubungan dagangnya baik. Yang saya koordinasikan itu cuma hubungan dagang langsung. Soal hubungan diplomatik itu tugas Pak Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini