SALAT tarawih di gedung DPP PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin malam pekan ini berlangsung dengan khusyuk. Sekitar 60 jemaah hadir, hampir semuanya orang yang termasuk dekat dengan ketua umum DPP PPP J. Naro. Naro yang duduk di saf depan memakai kemeja batik lengan pendek. Darussamin, Ali Tamin, Mardinsyah, Ridwan Saidi, dan Hartono Mardjono ikut hadir. Juga sejumlah warga NU, seperti Fachrurrozi dan Abduh Paddare. Imam salat dilakukan oleh Ismail Hasan Metarium. Ditanya tentang prospek penyelesaian perpecahan dalam tubuh PPP, Naro, yang malam itu mengenakan pici, cuma menjawab, "Menang atau kalah itu tidak penting. Tidak ada kalah atau menang. Tapi nyatanya saya 'kan belum skak. Dan itu berkat Tuhan." Tanda-tanda bahwa perpecahan dalam PPP akan segera diselesaikan tampaknya makin kuat dari hari ke hari. Semua ini bisa terjadi berkat campur tangan pemerintah. Awalnya berupa tawaran dari pemerintah agar kedua kelompok yang berselisih di PPP bersedia rujuk. Tawaran ini kemudian dibicarakan dalam beberapa rapat DPP awal Mei ini, yang kemudian memutuskan untuk menerimanya. Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam kemudian mengundang dua orang yang mewakili kedua kelompok yang bersengketa. Dari pihak Naro dipilih Hartono Mardjono, bekas wakil ketua F-PP yang dicopot oleh ketua F-PP Sudardji. Wakil dari kelompok Sudardji adalah Imam Sofwan, yang kini menjabat wakil F-PP setelah perombakan oleh Dardji. Pertemuan di salah satu restoran di Hotel Hilton pada 14 Mei itu dihadiri oleh Soepardjo Roestam, sekjen Depdagri Aswismarmo, serta wakil ketua DPR Amir Moertono dan Kharis Suhud. "Ini pertemuan konsultasi untuk bertukar pikiran. Kami baru ngomong-ngomong, baru menjajaki segala sesuatunya yang menyangkut kepentingan semua pihak," kata Soepardjo seusai pertemuan dua jam lebih itu. Menurut sebuah sumber, dalam pertemuan itu pemerintah menyodorkan formula penyelesaian kemelut PPP: Semua masalah diendapkan, dan kedua pihak harus rukun dulu. Kerukunan ini tidak usah disangkutpautkan dengan masalah pimpinan DPR atau fraksi PPP di DPR. Dan yang terpenting: pemerintah tidak memandang perlu bagi penyelenggaraan muktamar luar biasa. Dihadapkan dengan usul pemerintah seperti itu, tampaknya kedua pihak tak punya pilihan lain kecuali menerimanya. Mungkin karena itu Soepardjo Roestam Senin pekan ini mengatakan, "Titik terang penyelesaian masalah PPP sudah ada. Pertemuan di Hilton itu belum memutuskan sesuatu karenakami baru omong-omong saja. Tapi sudah ada pengertian di semua pihak, permasalahan yang penting, bagaimana PPP sebagai sebuah kekuatan sosial politik, sebagai modal dasar pembangunan, bisa berfungsi." Soepardjo mengimbau agar mereka yang terlibat tidak merasa kalah atau menang. Katanya, "Tapi ingatlah pada tujuan nasional." Ia menolak mengungkapkan lebih jauh. Imbauan Soepardjo tampaknya dipatuhi. Hampir semua tokoh PPP yang semula bersengketa kini berbicara dengan merendah. "Tidak ada istilah menang atau kalah. Kami memegang prinsip Menang tanpo ngasorake, atau dalam istilah Islam Taqadhu' (rendah hati). Pemerintah menganjurkan agar kami rukun. Karena itu, tidak ada yang namanya negosiasi-negosiasi. Kalau kami bertikai terus, tetangga lama kelamaan 'kan tidak tertarik," kata Ridwan Saidi. Ridwan menganggap biasa kalau dalam satu keluarga terjadi cubit-mencubit. "Kini sudah tidak ada masalah lagi. Kami sudah membuka lembaran baru. Tak ada gunanya membuka kembali lembaran lama," ujarnya. Soal recalling Syarifuddin Harahap dan Achda serta perombakan F-PP yang dilakukan Sudardji? "Itu masalah teknis. Yang penting, semangat persatuan timbul dulu." Kubu Sudardji tampaknya agak terpukul oleh formulasi pemerintah itu. Sudardji sendiri menolak berbicara. Namun, Tamam Achda mengatakan, "Saya percaya kepada jalan yang dilakukan pemerintah karena pemerintah tentu mempunyai analisa yang cukup memadai. Yang kami inginkan agar PPP ini secara eksis politik tetap berada dalam jajaran nasional." Tapi ditambahkannya, "Tentu, kami masih menginginkan muktamar luar biasa itu. Bagi kami, muktamar luar biasa itu merupakan tuntutan perundangan. Dukungan untuk diadakannya muktamar luar biasa itu datang dari berbagai wilayah. Kalau penyelesaian menurut AD/ART, memang penyelesaian harus melalui muktamar luar biasa. Kalau sekarang belum bisa, itu 'kan bergantung pada izin." Bila formula pemerintah itu nantinya yang akan dipakai, tidak dapat tidak, akan timbul kesan bahwa Narolah yang keluar sebagai pemenang dalam kemelut ini. Sebab, itu berarti bahwa pemerintah tetap mengakui keputusan muktamar I di Ancol, Agustus 1984, hingga Naro tetap ketua umum. Susunan DPP PPP juga tetap diakui. Sedangkan beberapa keputusan muktamar yang bertentangan dengan Ketetapan MPR, yang dijadikan landasan serangan kelompok Syarifuddin Harahap, dan sudah diperbaiki DPP PPP, rupanya akan diterima pemerintah. Tapi pemerintah kabarnya menghendaki Naro agar tidak mengotak-atik masalah recalling terhadap Murtadho Makmur, Ruhani Abdul Hakim, Syarifuddin Harahap, dan Achda. Artinya, kedudukan mereka tetap. Belum jelas bagaimana penyelesaian soal perombakan F-PP yang dilakukan Sudardji. Beberapa bulan lalu, kata sebuah sumber, sebenarnya pemerintah sudah memutuskan untuk "menggeser kepemimpinan Naro". Beberapa nama, termasuk Sulastomo, malah sudah disebut-sebut sebagai calon penggantinya. Namun, rupanya Naro dengan lihai melakukan sejumlah manuver politik. Termasuk, misalnya, mengganti beberapa keputusan muktamar Ancol yang bertentangan dengan undang-undang, hingga pemerintah pun kehilangan "isu" dan alasan buat penyelenggaraan muktamar luar biasa. Naro kabarnya sudah diperingatkan agar tidak melakukan langkah yang bisa mengeruhkan lagi suasana. Toh buat banyak orang, penyelesaian model ini dianggap sebagai "penyelesaian semu". Apakah kapak peperangan bisa dikuburkan untuk selamanya? Susanto Pudjomartono Laporan Achmad Luqman (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini