PERUBAHAN besar kini sedang terjadi di sektor perdagangan hasil kerajinan. The IDRC Reports terbitan April 1988 melaporkan bahwa pada 1984, ekspor hasil kerajinan dari negara-negara berkembang mencapai US$ 14 milyar (sama dengan tiga kali total ekspor Indonesia pada 1987). Tujuh negara Asia yang berada di puncak daftar ini secara bersama-sama mengekspor US$ 11 milyar. Jumlah yang tidak kepalang tanggung, memang. Majalah Reports itu juga mencatat bahwa jumlah perajin di Asia yang bekerja secara purnawaktu (sehari penuh) mencapai 20 juta orang. Jumlah perajin yang bekerja parowaktu (setengah hari) mungkin mencapai jumlah yang sama. Belum terhitung anak-anak, yang hanya diklasifikasikan sebagai pembantu atau magang. Angka-angka yang dikutip di atas cukup meyakinkan kita bahwa sektor ini sesungguhnya mempunyai masa depan yang cerah. Ia menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang dapat diandalkan. Ia mendorong self employment, sehingga tidak harus selalu bergantung pada penanaman modal besar, untuk membangun sarana produksi. Ia juga menjanjikan devisa yang sangat kita perlukan untuk pembangunan. Tapi kita masih juga ragu-ragu memasuki bidang bisnis ini. Coba tengok India. Dalam dua dasawarsa, antara 1961 dan 1981, sektor industri kerajinan telah membuka 2,5 juta kesempatan kerja bagi para perajin. Dalam kurun waktu yang sama, ekspor kerajinan India meningkat dari nol (terhadap total ekspor) menjadi 16 persen. Pertumbuhan fenomenal juga dialami oleh negara-negara yang mengekspor hasil kerajinan, seperti RRC, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, dan Muangthai. Sebaliknya, di Malaysia dan Sri Lanka, industri kerajinan erancam punah karena tak ada generasi muda yang berminat menjadi perajin. Di Malaysia dan Sri Lanka, usia rata-rata para perajin adalah 40 tahun. Tak terjadi alih generasi di kalangan perajin kedua negara itu. Kecuali di India dan Filipina, rata-rata para perajin yang disurvei oleh IDRC itu hidup di atas garis kemiskinan. Ini mudah dimengerti, karena siapa pun yang bekerja di sektor industri komoditi ekspor hampir selalu memperoleh upah yang lebih baik daripada rekan-rekannya yang bersawah atau berkebun. Survei itu juga memperoleh alasan lain tentang kesejahteraan para perajin, yaitu: keluarga mereka biasanya mempunyai lebih dari satu sumber penghasilan. Katakanlah: ayah bekerja memahat, anaknya yang sudah dewasa membantu menghaluskan sepulang dari sekolah, sedang ibu bisa mengolah kebun dengan tanaman pangan. Ekspor hasil kerajinan di negara-negara yang disurvei itu ternyata tumbuh lebih cepat daripada total ekspor negara yang bersangkutan. Dalam dasawarsa 1972-1982, ekspor hasil kerajinan di enam negara yang disurvei meningkat 34%. Sedang angka pertumbuhan total ekspor di keenam negara itu, pada kurun waktu yang sama, hanyalah 8%. Tetapi orientasi ekspor dari hasil kerajinan juga membawa dampak yang kurang menguntungkan. Ekspor membuat para investor menyediakan fasilitas produksi yang berdekatan dengan pelabuhan. Ini mengakibatkan urbanisasi. Di India, misalnya, ketika kerajinan perhiasan (jewelry) tiba-tiba disukai dunia, tenaga kerja yang terserap tiba-tiba melonjak 256%. Tapi dari seluruh jumlah itu, desa kehilangan kesempatan dari 66% menjadi tinggal 44%. Kecenderungan yang sama Juga terhhat pada kerajinan anyaman bambu di India. Survei IDRC itu juga menunjukkan, dua wilayah persoalan di mana pemerintah bisa ikut berperan untuk menumbuhkan sektor industri kerajinan. Pertama, menjamin pemasokan bahan baku. Beberapa hasil kerajinan ternyata masih bergantung pada bahan baku yang harus diimpor. Ini akan membatasi kemampuan mereka untuk menaikkan unsur upah dalam biaya produksi. Kedua, soal pelatihan. Pelatihan di sektor kerajinan biasanya terjadi secara alamiah, dari ayah ke anak, begitu turun-temurun. Sebuah film yang dibuat oleh orang Australia, misalnya, menunjukkan betapa "tolol"-nya perajin keramik di salah satu negeri Asia. Perajin itu bukannya menghadapi segumpal lempung yang diputar di atas piringan yang digerakkan dengan pedal kaki. Tapi malah sebaliknya, ia berjalan memutari gumpalan lempung yang akan dibentuknya menjadi pasu. Klaim dari pengimpor -- misalnya patung Bali yang retak setelah tiba di Amerika pun dapat dikurangi bila para perajin itu memperoleh bimbingan, bagaimana memilih dan mengolah kayu sebelum diukir. Di Indonesia, pelatihan-pelatihan seperti itu memang telah banyak terlihat. Para perajin keramik di Pejaten, Bali, misalnya, mendapat guru Prancis untuk meningkatkan kemampuan desain dan pengolahan. Pihak eksportir sendiri banyak yang berinisiatif mendatangkan ahli-ahli, untuk membimbing para perajin. Sayangnya, kebanyakan pelatihan itu hanya menekankan aspek teknis. Hal itu akan membuat para perajin terus menjadi artisan, seperti generasi pendahulu mereka. Jarang yang bisa menjadi wirausaha, karena mereka tak dilatih bagaimana caranya minta kredit, mencari bahan baku secara kolektif, atau keterampilan memasarkan produknya. Untuk mengubah nasib, memang masih terlalu banyak yang mesti dikerjakan, kalau perlu kesenangan-kesenangan kecil kita juga ikut dikorbankan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini