Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Netralitas Aparatur Negara dalam Pemilu 2024

Sejak Komisi Aparatur Sipil Negara dikebiri, tak ada yang mengawasi netralitas ASN dalam pemilu.

10 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORDE Baru identik dengan hubungan patron-klien yang berujung pada praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme oleh segelintir elite penguasa dan aparatur negara yang menyokongnya. Pegawai negeri sipil dalam birokrasi menjadi instrumen melegitimasi kekuasaan para elite itu dari pusat sampai ke daerah. Reformasi 1998, karena itu, memberi angin segar dalam demokrasi di tingkat lokal dengan munculnya gagasan desentralisasi kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, patron-klien tak ikut terdesentralisasi, malah beralih bentuk, sehingga reformasi birokrasi dan pegawai negeri sipil tak semulus demokratisasi politik. Hampir dalam setiap pergantian kekuasaan dalam pemilihan umum, pegawai negeri yang kini disebut aparatur sipil negara (ASN) terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik, seperti pemilihan kepala daerah 2019 dan 2020, dan kini Pemilu 2024 yang hawa panasnya terasa sejak tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu (2023), 80 persen pelanggaran dalam pemilihan kepala daerah 2019 dan 2020 dilakukan oleh ASN. Angka pelanggaran terhadap asas netralitas ASN melonjak dari 29 laporan menjadi 1.596 laporan pada 2015-2020. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat pada 2022, bentuk-bentuk pelanggarannya berupa kampanye di media sosial (30,4 persen) dan kegiatan mengarahkan dukungan kepada kandidat tertentu (22,4 persen). Aparatur yang melakukan pelanggaran paling banyak adalah pejabat fungsional (26,5 persen) dan pejabat pelaksana (17,2 persen).

Pelanggaran-pelanggaran itu mungkin terulang dalam pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah serentak pada November tahun depan jika tak diantisipasi. Untuk itu, kita perlu mewujudkan pemilu yang adil, jujur, dan transparan sebagai prasyarat demokrasi yang sehat.

Secara hukum, netralitas pegawai negeri dan aparatur hukum Indonesia diatur dalam beberapa regulasi. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara tegas mengatur setiap pegawai negeri wajib patuh pada asas netralitas serta melarang aparatur negara berpihak atau memihak kepentingan politik tertentu tanpa tekanan pihak lain. Netralitas pegawai negeri juga diatur regulasi khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Transisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN menimbulkan kontroversi terkait dengan ketidakjelasan tindak lanjut aduan pegawai negeri yang tidak netral. Salah satu implikasi Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 adalah pembubaran KASN yang selama ini menangani dugaan pelanggaran netralitas pegawai negeri.

Dewan Perwakilan Rakyat bernafsu menghapus KASN sejak 2017. Salah satu alasannya diduga adalah transaksi kepentingan saat pemerintah dan DPR membahas pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang tidak mendapatkan dukungan anggaran. Dengan membubarkan KASN, anggarannya bisa dialihkan untuk merekrut PPPK yang bisa diarahkan untuk kepentingan elektoral.

Praktik pelanggaran netralitas birokrasi banyak ditemukan sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Studi saya di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, menunjukkan ASN di daerah sulit mencegah tekanan politik dari kandidat pemilu. Pada 2015, sebanyak 18 pegawai negeri dibebastugaskan karena tak mendukung kepala daerah terpilih. Pegawai negeri yang netral karena menjalankan perintah konstitusi malah mendapat sanksi berat.

Netralitas birokrasi di daerah juga diatur melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 70 ayat 1 menegaskan larangan dan sanksi keterlibatan ASN dan anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian RI dalam kampanye calon kepala daerah. Peraturan ini juga melarang pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa/lurah membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan atau merugikan kandidat pemilu selama masa kampanye. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dijatuhi sanksi pidana.

Intervensi politik terhadap ASN di daerah makin kronis menjelang pemilihan serentak 2024. Penunjukan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota membuka potensi politisasi ASN lebih jauh. Data Bawaslu (2023) menunjukkan terdapat sepuluh provinsi dengan tingkat kerawanan netralitas ASN tertinggi. Maluku Utara menonjol sebagai provinsi dengan skor kerawanan tertinggi mencapai 100 poin, diikuti Sulawesi Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan. Di provinsi-provinsi tersebut, kekuasaan dinasti politik menjamur.

Pelanggaran netralitas ASN di daerah membutuhkan lembaga pengawas. Lembaga pengawas penting dipikirkan mengingat kini KASN praktis tak berfungsi karena tak lagi disuplai anggaran. Sebab, tanpa lembaga yang independen ini, Bawaslu tak memiliki mitra dalam mengawasi pelanggaran-pelanggaran netralitas ASN yang jumlahnya makin naik.

Laporan utama majalah Tempo pekan lalu menunjukkan dengan gamblang ketika kepentingan politik mengintervensi kepala daerah ataupun saat kepala desa menggalang dukungan untuk pasangan calon presiden tertentu. Barter kepentingan politik antara elite pusat dan daerah terjadi ketika memasuki masa kampanye.

Kepala daerah yang telah ditunjuk pemerintah pusat menjadi alat yang efektif mengarahkan dukungan, mengingat mereka memiliki sumber dana dan sumber daya kekuasaan. Kepala desa bahkan punya tangan langsung kepada para pemilih yang membuat permainan demokrasi menjadi tak seimbang. Kepentingan politik mendapatkan momentum dengan barter politik revisi Undang-Undang Desa yang hendak memperpanjang masa jabatan kepala desa dan menambah dana desa.

Masyarakat tentu memiliki andil besar dalam mengawasi netralitas ASN dengan memanfaatkan media sosial dan pelbagai platform komunikasi digital. Namun Bawaslu akan sendirian menangani banyaknya aduan sehingga pengawasan makin tak efektif. Mandulnya fungsi KASN membuat kita kehilangan lembaga yang berwenang menghimpun pelanggaran sebagai dasar pemberian sanksi dengan tujuan membuat efek jera. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya kewenangan memanggil pemantau dari negara lain. Dalam Pemilu 2019, KPU meminta lembaga pemantau dari 33 negara untuk mengawasi jalannya kampanye, proses pemilihan, hingga penghitungan suara. Maka, dalam Pemilu 2024 dan pemilihan kepala daerah serentak kelak, keberadaan pemantau asing bisa membantu Bawaslu mengawasi tahap-tahap pemilihan hingga selesai.

Pemilu yang jujur, adil, dan transparan adalah inti demokrasi. Sistem politik ini akan cacat jika alat kekuasaan ikut bermain dalam pertandingan perebutan kekuasaan. Pemilu yang rusak adalah awal kerusakan sistem ketatanegaraan dan nilai-nilai yang menjadi modal sosial masyarakat hidup bernegara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini ditulis bersama Aulia Rahmawati, pengajar di Politeknik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus