Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

NII: Islam atau Negara Islam?

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAMAN ketika orang Islam dianggap sebagai "kucing kurap" yang harus disingkirkan sebenarnya sudah berlalu, yaitu sejak mantan presiden Soeharto mulai "membaik-baiki" umat Islam pada tahun 1990-an.

"Kucing kurap", kita tahu, adalah istilah Muhammad Natsir untuk menggambarkan cara Orde Baru memperlakukan umat Islam dan tokoh-tokohnya. Tahun 1970-an adalah saat rezim Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan. Untuk tujuan itu, sejumlah kekuatan politik lama dianggap ancaman yang harus "dibereskan". Selain kekuatan kiri, kekuatan Islam adalah salah satu ancaman yang harus "dijinakkan". Tahun-tahun itu memang benar-benar mimpi buruk buat umat Islam.

Sudah pasti, sejumlah kekuatan Islam mencoba tidak "tunduk". Sejak akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an, muncul sejumlah perlawanan: mulai dari gerakan Imran, peristiwa pengeboman BCA dan Candi Borobudur, gerakan Warman, dan puncaknya adalah peristiwa Tanjungpriok. Di samping perlawanan "bersenjata", juga muncul sejumlah "sekte" Islam sempalan yang bisa dianggap sebagai bentuk "perlawanan tersembunyi" terhadap pemerintah Orde Baru.

Tahun-tahun itu, soal Pancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan yang panas. Oleh sejumlah kelompok Islam, pemaksaan Pancasila sebagai satu-satunya asas adalah bentuk lain "penyingkiran" umat Islam dari panggung politik. Karena itu, wajib ditolak.

Ide mengenai negara Islam juga masih kuat pengaruhnya. Seolah-olah kritik Cak Nur tahun 1970-an, "Islam yes, Partai Islam no", tidak berpengaruh apa-apa. Negara Orde Baru, di mata sejumlah kelompok Islam saat itu, adalah negara "sekuler" yang mengabaikan syariat Islam. Anggapan ini bukan tanpa dasar. Sikap pemerintah yang terlalu keras pada umat Islam memang dengan mudah membenihkan "radikalisme" di mana-mana.

Gagasan tentang negara Islam, dipandang dari satu segi, memang kurang masuk akal dilihat dari konteks Indonesia yang plural. Tetapi, jika kita berdiri pada posisi umat Islam pada tahun-tahun itu, sebetulnya munculnya gagasan tersebut wajar-wajar saja. Ide itu adalah salah satu bentuk perlawanan atas pemerintahan yang otoriter.

Tetapi, adakah relevan jika sekarang ide tentang negara Islam muncul kembali? Misalnya, kelompok yang sering disebut NII (Negara Islam Indonesia) akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan yang ramai di sejumlah kampus. Bukankah dengan kemenangan Poros Tengah umat Islam telah berhasil menguasai pemerintahan? Memang tidak semua "isi" ajaran Islam akan dengan serta-merta terlaksana dengan menangnya Poros Tengah. Apalagi dengan sikap Gus Dur yang sedari dulu selalu memusuhi upaya "formalisasi Islam". Tetapi, terlepas dari itu semua, bukankah posisi Islam sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 1970-an? Sekurang-kurangnya, umat Islam sudah tidak lagi menjadi "kucing kurap".

Jadi, apa perlunya memunculkan ide "negara Islam"?

Konon, kemunculan NII mempunyai silsilah kesejarahan dengan gerakan Kartosuwiryo. Bahkan, NII oleh sejumlah orang dianggap sebagai kebangkitan kembali Kartosuwiryo. Salah seorang aktivis NII yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan, Al Chaidar, menerbitkan dokumen-dokumen sejarah mengenai gerakan NII-nya Kartosuwiryo. Dilihat dari segi kepentingan dokumentasi, buku Chaidar itu sangat bermanfaat. Tetapi, dilihat dari segi idenya sendiri, sebetulnya gagasan Kartosuwiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia tidak begitu meyakinkan. Kartosuwiryo bukanlah seorang ulama atau pengkaji Islam yang mempunyai tradisi yang mendalam mengenai Islam.

Yang aneh adalah bahwa konsumen yang paling bersemangat menerima ide NII ini adalah para mahasiswa di kampus yang non-agama seperti ITB dan IPB. Sedangkan di universitas agama seperti IAIN, ide itu tidak pernah diperhitungkan secara serius. Adakah ini merupakan ekspresi perlawanan politik atas rezim "Poros Tengah", atau gejala yang lain lagi?

Cara yang tepat untuk melihat kemunculan kelompok semacam ini, boleh jadi, adalah menggunakan sebuah tamsil. Selama ini, organisasi Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah sudah terlalu "gendut" dan mapan. Karena sikap "mapan" itu, mereka sudah tidak lagi sensitif terhadap kebutuhan ekspresi Islam baru di kalangan anak-anak muda. Bagi sebagian mereka yang muda dan terpelajar, Islam seperti yang dipahami oleh NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, dan ormas Islam lain yang sudah mapan, adalah Islam yang sudah out of date, ketinggalan zaman, dan kurang "seksi". Mereka butuh "ekspresi Islam" yang lebih baru, lebih asertif, dan lebih berani menonjolkan simbol keislaman secara terus terang.

Dengan kata lain, anak-anak muda yang resah di kampus-kampus itu butuh semacam "identitas" Islam yang baru dan "gres". NU dan Muhammadiyah, di mata mereka, tidak bisa memberikan identitas yang mereka butuhkan. Kedua organisasi Islam besar itu sudah terlalu asyik dengan "permainan politik" yang kadang berbau tipu-tipuan. Mereka lebih membutuhkan Islam yang mendekati bentuknya yang "pristin" pada zaman Nabi atau sahabat: Islam ketika belum dikorupsi oleh perkembangan sejarah dan interes-interes politik.

Dengan begitu, urusan NII ini memang lebih merupakan bagian dari dinamika internal umat Islam yang terus-menerus mencari corak "ekspresi" baru di tengah perubahan yang deras. Tidak perlu ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan dari kelompok semacam ini. Perubahan sosial yang cepat akibat modernisasi dan instabilitas politik seperti sekarang ini kadang memang mudah membuat orang bingung. Dalam suasana seperti itu, radikalisme bisa menjadi pilihan yang memikat. Tetapi, biasanya, radikalisme semacam itu, asal tidak diperlakukan secara keras oleh pemerintah atau kelompok Islam lain yang lebih mapan, akan pudar sendiri.

Ini mirip anak ABG yang baru memasuki usia pubertas: penuh energi berlimpah, ingin mencoba segala hal baru, tak mau tunduk pada orang tua, dan ingin kelihatan ngejreng. Tapi, ketika usia itu dilampaui, ia akan "tenang" dan dewasa. Semua orang tua pasti tahu cerita anak muda yang begini, dan tak perlu panik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus