Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Beringin Sempal

Musyawarah Besar Rakyat Papua sepakat menuntut kemerdekaan dari Indonesia. Negara tetangga ada yang mendukung.

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FAJAR pertama tahun 2000 menjadi saksi saat Presiden Abdurrahman Wahid mengganti nama Irianjaya menjadi Papua. Tapi ternyata usaha itu belum cukup untuk membendung keinginan sebagian masyarakat menyampaikan salam perpisahan kepada Republik. Pekan lalu, di Hotel Sentani Indah, Jayapura, digelarlah Musyawarah Besar Rakyat Papua. Acara yang bertema "Jalan Sejarah adalah Jalan Kebenaran" ini dihadiri sedikitnya 500 peserta dari dalam dan luar provinsi itu. Sebanyak 20 orang wakil dari negara tetangga, Papua Nugini, juga hadir untuk mendukung acara ini. Agendanya dua: evaluasi perjuangan untuk merdeka dan meluruskan sejarah politik Bumi Cenderawasih ini. Theys Hiyo Eluay, Ketua Lembaga Adat Masyarakat Irianjaya, yang disebut-sebut sebagai pemimpin besar rakyat Papua, menyayangkan ketidakhadiran pejabat daerah dalam acara ini. Menurut Theys, hal itu mencerminkan pemerintah Indonesia tidak memperhatikan aspirasi rakyat Papua. Ini alasan utama mengapa gejolak terus-menerus terjadi di sana. Tengok saja sejarah masuknya provinsi ini ke Tanah Air. Setelah dikuasai Belanda sejak abad ke-18, Papua sempat dikuasai tentara Jepang dan Sekutu hingga Proklamasi 17 Agustus 1945. Sesudah masa itu, Belanda ternyata masih berkeinginan menguasai daerah ini. Pasukan Negeri Kincir Angin itu sempat membagi wilayah Papua menjadi 23 daerah kebudayaan. Singkat cerita, akhirnya, Indonesia bisa mengambil alih wilayah ini pada 1969. Presiden Sukarno langsung mengganti nama Papua menjadi Irian—singkatan dari "Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland". Sesudah era Soeharto lewat, aneka ragam tuntutan kembali mencuat ke permukaan. Maklum, pada zaman Orde Baru itu, perbedaan pendapat macam itu nyaris dimatikan. Dan di zaman Presiden Habibie memerintah, gugatan merdeka kembali kencang terdengar dari timur, sampai sekarang ini. Tuntutan itu kian terlihat jelas ketika untuk pertama kalinya bendera Papua Barat—bergambar "Bintang Kejora"—dikibarkan di eks gedung parlemen Papua Nugini (kini DPRD) di Jayapura, 1 Desember 1998. Kegiatan ini menyeret Theys Hiyo Eluay ke meja hijau dengan tuduhan "melakukan perbuatan makar melawan pemerintah yang sah." Sampai kini, Theys masih menyandang predikat "tersangka" dan urusan ini untuk sementara "dipetieskan", barangkali untuk menghindari makin maraknya tuntutan Papua merdeka. Kini, Theys menjadi Ketua Dewan Papua, yaitu organisasi pejuangan kemerdekaan Papua yang berdiri pada 1961. Lewat mimbar musyawarah besar (mubes) pekan lalu itulah ia mengemukakan kekecewaannya kepada pemerintah RI. Karena itu, pria 68 tahun ini menyatakan akan mengambil alih pemerintahan di Bumi Cenderawasih dengan membentuk pemerintahan transisi bersama para pendukung kemerdekaan Papua. Tak hanya itu. Acara ini juga akan dimanfaatkan untuk meluruskan sejarah bangsa Papua yang, menurut Theys, telah dikaburkan untuk kepentingan politik Indonesia. Upaya melepaskan diri dari RI ini juga mendapat dukungan dari luar negeri. Menurut Ketua Dewan Papua Sektor Pasifik, Frenzalbert Joku, pemerintah Papua Nugini melalui departemen luar negerinya telah menyatakan dukungan terhadap tuntutan masyarakat Irian. Untuk mencari dukungan yang lebih luas, Dewan Papua juga bersiap menyampaikan hasil mubes ini ke markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Theys memang belum tentu mewakili suara rakyat Papua seluruhnya, tapi ancaman pemisahan diri agaknya kian nyata. Padahal, pemerintah Indonesia jelas berupaya mempertahankan wilayah berpenduduk 2,5 juta jiwa ini. Presiden Habibie, misalnya, mencoba mengakomodasi tuntutan masyarakat Papua dengan memproduksi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 yang membagi Irianjaya menjadi tiga provinsi: Irianjaya Barat, Tengah, dan Timur. Upaya ini tak berhasil meredam keinginan merdeka. Dan undang-undang itu pun ditunda berlakunya oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kalau kini bumi paling timur itu "bergoyang" lagi, ini pertanda Papua—tempat yang jauh dari Jakarta itu—makin perlu perhatian dan uluran tangan pusat. Andari Karina Anom, Kristian Ansaka (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus