Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini mengukuhkan pentingnya kerja dasar jurnalistik.
Jurnalis harus kembali menjadi anjing penjaga yang mengawasi kekuasaan.
Media yang dipimpin Maria Ressa dan Dmitry Muratov menjadi dua contoh upaya kembali ke tradisi jurnalistik.
TERPILIHNYA Maria Ressa dan Dmitry Muratov sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini merupakan pertanda kebangkitan kembali spirit jurnalisme klasik. Komite Nobel Norwegia menyebut mereka wakil dari semua jurnalis yang berjuang di tengah tekanan yang makin kuat terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya pemimpin media yang ulet membongkar korupsi dan berbagai manipulasi kekuasaan di negara masing-masing. Ressa memimpin Rappler, media berita online Filipina yang menginvestigasi pembunuhan ekstrayudisial oleh para polisi dan orang tak dikenal dalam program “perang melawan narkotik” Presiden Rodrigo Duterte. Muratov menakhodai Novaya Gazeta, surat kabar Rusia yang mengungkap campur tangan pemerintah Presiden Vladimir Putin dalam gerakan pemisahan Ukraina Timur dari Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada prinsipnya mereka membawa media masing-masing kembali ke pekerjaan “tradisional” jurnalis: menggali fakta dan menemukan kebenaran. Meskipun untuk itu mereka berkali-kali mendapat serangan balik. Rappler kerap digugat dan sempat dilarang terbit karena masalah kepemilikan saham asing. Enam wartawan Novaya Gazeta dibunuh karena mengungkap berbagai kasus, dari mafia, korupsi, pencucian uang, hingga masalah Chechnya.
Terakhir kali Nobel untuk jurnalis diberikan kepada Carl von Ossietzky, editor Die Weltbühne, Jerman, pada 1936. Pertimbangannya sama, yakni karena “membela kebebasan berekspresi dan berkontribusi pada upaya perdamaian”. Saat menerima penghargaan, Ossietzky tengah meringkuk di kamp konsentrasi Nazi. Dia dituduh membocorkan rahasia negara lantaran menerbitkan tulisan tentang Hitler yang melanggar Perjanjian Versailles dengan diam-diam mempersenjatai militer Jerman.
Kegigihan untuk terus membongkar fakta-fakta penting bagi publik seperti yang mereka tunjukkan kini makin langka. Tidak sedikit media dengan sadar terseret arus informasi yang dikendalikan oleh algoritma media sosial. Sementara itu, media baru hanya tertarik mengejar popularitas dan keuntungan finansial, tak peduli pada kualitas informasi dan kepentingan masyarakat. Ruang publik pun penuh dengan informasi palsu dan menyesatkan.
Banyak kasus menunjukkan bagaimana informasi sesat telah mendorong sekelompok orang menyerang kelompok lain, bahkan secara fisik. Facebook, misalnya, terbukti berperan menyebarkan informasi palsu yang memicu kerusuhan antimuslim besar di Sri Lanka pada 2018. Facebook berusaha memperbaiki kerja medianya dengan membentuk Dewan Pengawas dan merekrut semacam tim editor. Tapi segelintir orang ini tak mungkin dapat menyaring jutaan informasi yang setiap hari berseliweran di platform itu.
Hadiah Nobel mengukuhkan kembali signifikansi tugas jurnalis sebagai anjing penjaga. Terutama ketika penguasa amat kuat mengontrol informasi dan kebebasan berekspresi—termasuk dengan memanfaatkan media sosial dan buzzer untuk menggalang dukungan publik. Reporters Without Borders mencatat, saat ini pers dikekang di 73 dari 180 negara dan dihalang-halangi di 59 negara. Dominasi penguasa telah menyebabkan kemunduran demokrasi di banyak negara, tak terkecuali Indonesia.
Dalam kondisi yang demikian, penghargaan Nobel untuk Ressa dan Muratov sekaligus mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan pers sebagai pijakan bagi jurnalis dalam bekerja. Pers harus bebas dan independen agar senantiasa dapat mengawal kepentingan masyarakat dan menagih pertanggungjawaban penguasa atas setiap aksi mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo