Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah mengantar Revolusi Kuba, Che Guevara menghilang.
Ia membantu Revolusi Bolivia.
Operasi CIA membuatnya tertangkap dan dieksekusi.
“AKU ucapkan selamat tinggal,” kata Ernesto “Che” Guevara kepada Fidel Castro dalam sepucuk surat yang dibacakan keras-keras oleh Castro sendiri. “Aku rasa aku telah menyelesaikan tugas yang diberikan Revolusi Kuba kepadaku.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat yang diumumkan ke dunia di bulan Oktober 1965 itu, Guevara juga mengatakan, “Aku harus meninggalkanmu. Bangsa-bangsa lain meminta jasaku.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Castro dan Che Guevara: sepasang penggerak revolusi yang menang, penegak Kuba yang sosialis—sepasang tokoh yang dikagumi seluruh gerakan kiri di dunia. Ketika kemenangan tercapai, Castro pun jadi presiden, dan Che menghilang. Di paruh pertama tahun 1960-an itu, ia tak pernah tampak di Kuba, atau di mana saja.
Baru di tahun 1967 ia diketahui berada di hutan-hutan Bolivia, 4.477 kilometer jauhnya di selatan. Ia mencoba menciptakan revolusi di republik itu. Seperti dikatakannya kepada seorang aktivis muda komunis dalam sebuah pertemuan di perbatasan Paraguay, ia berencana membuat dua atau tiga “Vietnam”—perjuangan bersenjata yang mengalahkan Prancis dan Amerika Serikat—di Amerika Latin.
Ia ikhlas, bersungguh-sungguh, tapi gagal.
Pasukan khusus Bolivia, dibantu penuh CIA, berhasil mencegatnya di Bolivia Tenggara setelah tujuh tahun menguntit dan memburu. Tanggal 8 Oktober 1967, di hutan di dekat La Higuera, pertempuran terjadi. Che tertembak kakinya. Ia roboh. Senjatanya lepas. Tentara Bolivia merapat.
“Jangan tembak! Aku Guevara. Aku lebih berguna kalian tangkap hidup-hidup ketimbang mati.”
Ia pun dibawa ke sebuah ruang kelas sebuah sekolah terdekat.
Esoknya, Félix Rodríguez, agen CIA, seorang Amerika keturunan Kuba yang menyamar sebagai perwira Bolivia, menemuinya. Ia lihat tokoh revolusi itu penuh kotoran, rambutnya kumal dan kacau, pakaiannya robek-robek, tangan dan kakinya dibelenggu.
CIA menghendaki ia hidup, untuk diinterogasi.
Tapi itu yang tak terjadi.
Ada yang mengatakan Rodríguez tak menyampaikan pesan CIA itu kepada tentara Bolivia, tapi ada yang mengatakan pemerintah Bolivia tak ingin membawa tokoh revolusi yang termasyhur itu ke pengadilan; di depan mahkamah ia bisa membangkitkan simpati rakyat. Maka Guevara harus dieksekusi, tapi akan diceritakan kepada dunia ia tewas dalam pertempuran.
Dalam sebuah wawancara beberapa tahun kemudian Rodríguez mengatakan, ia yang datang mengabarkan rencana itu kepada Che.
“Ia menatap saya lurus-lurus dan berkata, ‘Lebih baik begitu. Seharusnya memang saya tak pernah tertangkap hidup-hidup.’”
Kedua musuh itu pun bersalaman—dan sejenak berpelukan.
Setelah Rodríguez meninggalkan tempat itu, ia memanggil Jaime Terán, sersan yang dipilih untuk menembak mati Che. Terán harus menembaknya di badan di bawah kepala agar Guevara tampak terbunuh dalam pertempuran.
Sekitar 24 jam setelah tertangkap, Che tewas dengan lubang di kedua lengan, kedua tungkai kaki, dan leher. Umurnya 39.
Sore hari, 9 Oktober itu, jenazahnya dibawa dengan helikopter ke Vallegrande, lalu diangkut mobil ke rumah sakit di kota kecil itu. Di ruang terbuka tanpa atap, tubuh Che dibedah dan diisi formalin, lalu dibaringkan di kamar cucian rumah sakit, untuk dipotret dan disiarkan ke seluruh dunia. Setelah itu, sebelum dikuburkan, kedua tangannya dipotong, untuk bukti bahwa Che memang telah mati.
“Seorang pemberani hanya sekali merasakan ajal, tapi seorang pengecut mati seribu kali sebelum maut menjemput.”
A coward dies a thousand times before his death, but the valiant taste of death but once.
Di pojok Bolivia, Che mengubah kata-kata Shakespeare dalam Julius Caesar itu. Ia pemberani, tapi ia tak hanya sekali mati. Ia hidup 1.000 kali. Legenda selalu dibangun dari seorang yang telah tak ada, karena sang tokoh tak bisa menolak ditafsirkan apa saja, kapan saja, dan ribuan orang memujanya, dengan ribuan cara.
Hutan tempat Che ditangkap jadi tujuan wisata. Ruang cucian rumah sakit tempat ia dibaringkan terakhir kali berubah jadi monumen. La Higuera, kota pedalaman dengan sederet rumah tanpa aliran listrik, seakan-akan jadi sebuah kota Kuba. Di sana dibangun patung kepala Che dengan jenggotnya dan baret hitamnya—sebuah arca besar yang diraut kasar seperti kepala golek raksasa. Tu ejemplo ilumina un nuevo amanecer, “tauladanmu menyinari fajar baru”, demikian tertulis di bawahnya.
Che pun jadi aikon. Dan di saat itu Perang “Dingin”—yang sebenarnya tak “dingin”, sebab ini perang yang panjang, kompleks, dan kejam antara “yang komunis” dan “kapitalis”—tampak berubah. Konflik seakan-akan berakhir dalam image Che di kaus yang diproduksi di mana-mana, baik di bagian bumi yang “kiri” maupun yang “kanan”.
Ideologi akhirnya terdesak “imagologi”. Jika kita ikuti pemikiran Milan Kundera dalam novel Immortality, kini image lebih menentukan ketimbang kekuatan fisik atau keyakinan.
Mungkin ini ironi sejarah: dalam konflik dan persaingan antara paham “kiri” dan “kanan”, yang maju ke depan bukan ideolog yang sengit, bukan gerilyawan yang gigih, melainkan kemampuan manajer kampanye politik, kecakapan biro iklan, penampilan gaya busana yang pas, wajah yang cakep dan tubuh yang langsing.… Dan dengan image, kita menang, atau kita kalah.
Hasta la vicoria siempre?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo