Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di negeri fiktif itu, yang digambarkan Orwell dalam novel 1984, kalimat-kalimat ini datang berulang-ulang:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG ADALAH DAMAI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMERDEKAAN ADALAH PERBUDAKAN
KETIDAKTAHUAN ADALAH KEKUATAN
Semboyan itu mengejutkan, membingungkan, tapi mendesak. Kebenaran yang umumnya diakui—bahwa “perang” bertentangan dengan “damai”, bahwa “perbudakan” adalah lawan “kemerdekaan”—ditampik. Konsensus, tentang apa yang benar apa yang salah, ditiadakan.
Di Oceania yang dipaparkan Orwell, manusia hidup dalam “pasca-kebenaran”, atau lebih tepat dalam “pura-pura-kebenaran”. Kekuasaan negeri itu dengan sistematis menampik proses penalaran. Partai yang berkuasa menentukan: “Apa saja yang dianggap benar oleh Partai, itulah kebenaran.” Kekuasaannya praktis tanpa batas dan membuat orang menerima bahwa “perang adalah damai”, “hitam adalah putih”, “2 x 2 = 5”. Tanpa verifikasi.
Partai memang tak menghendaki pernyataannya diuji. Tak ada niat mencocokkan pendapat yang dikemukakan dengan kenyataan. Sebab, bagi Partai, tak ada kenyataan di luar sana; realitas, atau kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia—khususnya pikiran kolektif yang dikuasai Partai.
Tak ada “kebenaran obyektif”....
Kini kita tak hidup di Oceania. Kita tak punya Partai yang mahakuasa. Tapi ada hal lain dengan dampak yang mirip. Sebagaimana di negeri fiktif novel 1984, kini, “kebenaran obyektif” sedang dicampakkan. Kabar palsu dan dusta bertebar tiap saat. Tanpa rasa bersalah, tanpa peduli apakah bisa dibuktikan.
Donald Trump pernah menyatakan, tanpa berkedip, Obama bukan kelahiran Amerika dan seharusnya tak boleh jadi presiden. Di Indonesia, musuh-musuh politik Jokowi menyebarkan cerita palsu bahwa ia seorang Kristen.
Hoax macam ini melekat. Menangkis fakta yang keliru dengan fakta yang akurat selalu alot dan terlambat. Seperti kata Mark Twain, “Sebuah dusta berjalan mengelilingi separuh bumi ketika kebenaran baru mengenakan sepatunya.” Bertahun-tahun, bantahan yang disertai fakta-fakta—bahwa Obama tak lahir di negeri asing dan Jokowi bukan Kristen—ibarat perisai yang hanya menangkis tapi tak bisa melumpuhkan serangan.
Apalagi jika kepalsuan itu begitu dahsyat, begitu tak masuk akal (misalnya bahwa Prabowo adalah presiden terpilih 2019), hingga orang jadi oleng dan mulai bertanya kepada diri sendiri: mungkinkah ada pihak yang tega berdusta sejauh itu dan meyakini kabar palsu sebesar itu?
Bantahan dan kontra-bantahan bisa berlarut-larut, hingga masyarakat pasrah: kami tak tahu persis mana yang benar dan mana yang tidak; mungkin “kebenaran” mustahil; mungkin tak penting.
Politik, dalam arti ikhtiar membentuk dan mengefektifkan kekuasaan, sejak dulu membuka peluang untuk itu. Dalam perang Bharatayudha, orang-orang Pandawa menyebarkan kabar bohong bahwa Aswatama gugur, hingga ayahnya, Dorna, putus asa dan gampang dikalahkan. Dari sejarah abad ke-20, Orwell menyimpulkan dengan gemas: politik adalah “sehimpunan dusta, tipu daya, kebodohan, dan skizofrenia”. Dan yang paling menakutkan, tulis Orwell di kesempatan lain, adalah ketika politik jadi kekuatan yang “menyerang konsep kebenaran obyektif”.
Konsep “kebenaran obyektif” sendiri memang problematis; para pemikir sudah lama menggugat itu. Tapi yang dicemaskan Orwell adalah seperti yang terjadi beberapa tahun sebelum ia meninggal di awal 1950: di Jerman, Hitler dan gerakan Nazinya menegaskan “ilmu Jerman” berbeda dengan “ilmu Yahudi”, “kebenaran Jerman” berbeda dengan “kebenaran Yahudi”. Orang tak mengakui lagi kebenaran yang universal, hingga pembasmian jutaan manusia bisa dibenarkan oleh satu pihak ketika dikutuk pihak lain.
Harus diakui, “kebenaran yang universal”, sebagaimana “kebenaran obyektif”, memang punya masalah. Meskipun di| mana-mana orang mengakui “2 x 2 = 4”, dalam banyak perkara lain yang berlaku adalah “perspektivisme”: kebenaran selamanya ditangkap dan diungkapkan dari perspektif tertentu. Tiap “kebenaran” yang aku utarakan berkaitan dengan posisi tubuhku, suasana tempat, dan waktuku.
Dengan kata lain: kebenaranku tak mutlak, hingga semua orang tak niscaya, tak harus, mengikutinya.
Pandangan seperti ini—lazim dalam pemikiran post-modern—sebuah kerendahan hati. Tapi sejauh manakah kita bisa menoleransi perspektif Oceania bahwa “perang adalah damai” dan “kemerdekaan adalah perbudakan”? Benarkah kebenaran universal bisa ditunda, bahkan diabaikan?
Semoga tidak. Alain Badiou masih dengan gigih mengingatkan ini: kebenaran lahir dalam sejarah, tak lepas dari tempat, waktu, dan prosesnya, tapi ada yang kekal dalam dirinya dan tak terhingga rumusannya. Di zaman dan negeri yang berbeda-beda, ada événement: manusia bisa menegaskan bahwa perbudakan bukanlah kemerdekaan, dan menegaskannya dengan tindakan dan keyakinan yang tiap kali terasa sebagai gebrakan baru.
Ya, kita kini memang sesak dan cemas dengan “pasca-kebenaran”, kita takut berhijrah ke Oceania. Tapi sejarah belum selesai.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo