Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan-lukisan berukuran besar Made Sukadana digantung pada dinding galeri. Karya perupa asal Bali yang semasa hidupnya sangat produktif demi memenuhi permintaan pasar seni rupa ini dipamerkan di Galeri Sangkring Art Project, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Galeri ini milik pasangan Putu Sutawijaya dan istrinya, Jenni Vi Mee Yei. Lukisan Made Sukadana semasa dia muda, saat berumur 36 tahun, terkenal laris dibeli kolektor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Made Sukadana meninggal pada usia 52 tahun, Agustus 2018. Dia mengembuskan napas terakhir sebelum berkesempatan menyaksikan pameran tunggalnya di galeri tersebut. “Pameran Made Sukadana sudah dijadwalkan sebelum dia meninggal,” kata pendiri dan pemilik Sangkring, Jenni Vi Mee Yei, Kamis, 25 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena terjadwal dan bertujuan mengenang Sukadana, pameran tersebut tetap digelar Sangkring tahun ini. Lukisan bertarikh 2001-2017 dipamerkan selama 7 April-7 Juni 2019. Karya-karya itu, menurut Jenni, menggambarkan perjalanan Sukadana sejak awal hingga menjelang akhir hidupnya. Tapi beberapa karyanya tak mencantumkan tahun. Jenni menerangkan, hal itu karena istri Sukadana kekurangan data.
Perupa yang punya corak lukisan abstrak ekspresionis ini menggunakan bentuk-bentuk wayang dan mitologi dalam karyanya. Tengoklah lukisan berukuran 220 x 240 sentimeter berjudul Kontestan. Karya bertarikh 2017 ini menggunakan citraan barong Bali, yang digunakan untuk kegiatan spiritual keagamaan di Pulau Dewata. Masyarakat Bali percaya barong, yang tinggi-besar, hitam, dan bertaring, punya roh sebagai penangkal bencana.
Barong raksasa itu menjulang tinggi, menyerupai dua tubuh manusia. Empat kaki manusia yang dibungkus sepatu dan sandal terlihat pada karya tersebut. Salah satunya kaki dengan sepatu bot hak tinggi. Sukadana menggunakan warna berat (dominan gelap), terdiri atas campuran hitam, merah, putih, dan hijau.
Karakter barong yang sedang menari juga muncul pada karya lain. Barong merah dengan jari-jari tangan yang membuka seperti hendak menangkap sesuatu terdapat pada karya berjudul Dancer Behind Portrait. Karya berukuran 180 x 200 sentimeter ini bertarikh 2014. Pada karya ini juga terdapat kaki-kaki yang sedang menari. Ada kaki yang telanjang, ada juga yang dibungkus sepatu.
Sosok kepala barong yang sama muncul pada karya berjudul Burung Dalam. Hanya, Sukadana menyajikannya dalam warna hitam-putih. Tidak terlihat kaki dan tangan orang yang membawakan tari barong di sana.
Sentuhan warna mencolok yang tampak berbeda dengan karya bertema barong terlihat pada lukisan berjudul Speed Man. Karya tahun 2011 berukuran 150 x 180 sentimeter ini dilengkapi dengan tulisan dan angka pada kanvas. Pada pojok kiri bawah kanvas terdapat gambar telapak kaki manusia berukuran jumbo.
Perupa yang punya corak lukisan abstrak ekspresionis ini menggunakan bentuk-bentuk wayang dan mitologi dalam karyanya.
Made Sukadana lahir di Karangasem, Bali. Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini dikenal sebagai perupa yang mengembangkan corak abstrak ekspresionis. Sukadana gemar menyelipkan bentuk-bentuk wayang pada karya lukis abstraknya karena dia punya akar seni tradisi Bali, yang akrab dengan wayang. Sewaktu bersekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa Denpasar, dia pernah secara khusus mempelajari wayang Bali selama sebulan di Kamasan, Bali.
Sukadana suka meminjam fragmen-fragmen dalam dunia pewayangan. Ia dengan spiritnya yang besar memunculkan aksesori wayang dan bagian dari busana atau kostum, seperti mahkota gelungan, candi kusuma, dan gelungan candi kurung, kekendon, dan supit urang. Ada juga bagian dari hiasan kepala seperti sekar taji, tetindik, silut karna, dan urna. Sedangkan bagian dari busana di antaranya kancut, gelang kane, naga wangsul, kembang waru, sempyok, dan garuda mungkur. “Itu dibentuk dengan goresan sekali jadi,” tutur Suwarno Wisetrotomo, dosen ISI Yogyakarta, yang menerbitkan buku Made Sukadana: Coping With Shocks and Turmoil. Dia menyebutkan kekuatan teknik Sukadana sangat tampak dalam berbagai adegan pertarungan. Adegan itu terkait dengan kondisi psikologisnya.
Tatkala Sukadana hidup, sekali waktu harga lukisannya pernah melejit tinggi. Karyanya menjadi incaran kolektor. Tapi kemudian harga lukisannya turun. Pengamat mengatakan itu terjadi lantaran Sukadana terlalu produktif sehingga lukisannya tidak eksklusif.
Sukadana mampu menyelesaikan sepuluh karya dalam sebulan. Bahkan dalam sehari kadang ia bisa menyelesaikan beberapa lukisan. “Berapa saja saya buat lukisan, langsung bablas. Sekarang saya teler,” kata Sukadana beberapa tahun lampau, saat masih jaya. Suwarno melihat sesungguhnya lukisan Sukadana tetap amat bertenaga dan berharga. Karena itulah karyanya pantas dilihat kembali.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo