Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR Agustus itu musim bediding yang terlambat—peralihan hujan ke kemarau. Dingin angin sore lereng Merapi berembus saat kami tiba di Omah Petroek. Patung Sukarno setinggi enam meter menyambut, agak terlampau besar dan mendadak. Monumen itu dua hari sebelumnya diresmikan Megawati Soekarnoputri dalam acara yang bersahaja namun meriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa itu bermakna kuat. Kompleks Omah Petroek (Rumah Petruk) lebih sedasawarsa dikenal sebagai tempat seni, intelektual, sekaligus spiritual yang mengusung keberagaman religi Indonesia. Di sana ada candi, kelenteng, wihara, kapel, dan langgar (yang menyimpan sajadah Gus Dur). Serba mungil sederhana, dinaungi rumpun bambu betung dan pelbagai pohon besar. Aura Bung Karno memberi legitimasi kebangsaan bagi Omah Petroek, yang didirikan oleh budayawan dan rohaniwan Katolik, Sindhunata, SJ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung itu “datang sendiri”. Suatu kali Romo Sindhu, yang disegani seniman Yogyakarta dan Jawa Tengah, dikunjungi pematung Dunadi. Terkesan akan suasana dan perpustakaan Omah Petroek, ia menawarkan diri membuat dan menghadiahkan patung proklamator. Monumen itu pun berdiri menyusul seribu patung yang telah bersemayam di area satu setengah hektare itu.
Saya datang bukan untuk menonton monumen. Saya menjadi bagian dari Sekolah Basis, semacam sekolah penulisan dan pemikiran, yang kali itu diadakan di sana. Itu pertama kalinya saya ke Omah Petroek. Saya terkesan bukan karena keindahannya. Memang ada alam yang asri, tapi keindahan bukan unsur menonjol. Banyak elemen bangunan dan karya di sana kitsch dan banal, berselingan dengan yang sungguh mengharukan. Yang menakjubkan saya justru tegangan antara yang kitsch-banal dan yang elegan-sublim. Tegangan yang (sejauh ini masih) menghasilkan suasana tenteram alam dan kebersahajaan manusia. (Saya khawatir suatu hari terlalu banyak bangunan didirikan dan karya ditambahkan sehingga tegangan itu dimenangkan oleh yang kitsch dan pragmatik.)
Romo Sindhu mengatakan bahwa ini memang semacam Indonesia mini. Tapi apa yang membedakan ini dari Taman Mini Indonesia Indah? TMII juga menghadirkan keberagaman Indonesia, melalui banyak stereotipe. Yang membedakan: TMII adalah proyek. Ia rencana dari pemerintah Soeharto, ketika itu.
Omah Petroek bukan proyek dari atas. Ia sesuatu yang bertumbuh organik. Ia berawal dari rasa sederhana: rindu tempat menulis yang tenang. Kita tahu, menulis selalu beriringan dengan wawasan filosofis dan pengalaman estetis. Pada mulanya hanya gubuk di kerimbunan, awal 2000-an. Ada kala Romo Sindhu memesan kepada kawan seniman agar dibuatkan karya untuk dipajang di sana. Misalnya patung andesit Mbok Turah yang digarap Ismanto. Kadang ia membeli, kadang ia dihadiahi.
Mbok Turah—bisa dianggap patung tertua di sana—perlahan menjadi ikon tempat itu. Bagi Romo Sindhu, patung wanita berkebaya dan bersimpuh ini menggambarkan ibu yang selalu memberi dalam kesahajaan. Bagi umat Katolik, itu tentu figur Maria. Bagi orang sekitar Merapi, itu adalah Nyai Sekar Niti yang berasal dari “keraton halus” Merapi yang menjelma ke dunia manusia sebagai perempuan sederhana untuk menolong. Penyatuan simbol dari dua religi terjadi begitu mulus.
Orang mulai datang kepada Mbok Turah dan bersembahyang. Kadang permohonannya sesederhana meminta rezeki sehari-hari. Ada juga pemain kuda lumping yang menenangkan diri dari kesurupan. Atau yang mencari konsolasi setelah pengalaman aborsi. Ada bokor dupa menyala di sana. Kebetulan desa sekitar mengadakan upacara merti desa dan mempersembahkan sesaji nasi tumpeng dengan ayam ingkung kepada Mbok Turah—yang lalu disantap para peserta Kelas Basis.
Kecanggihan filosofis hadir dalam koleksi pustaka majalah Basis yang tersimpan di sana. Berdiri tahun 1952, Basis adalah majalah budaya paling tua yang masih terus terbit sampai sekarang. Nama besar seperti Driyarkara dan Zoetmulder pernah menjadi pemimpin redaksinya. Di tahun 1965, rubrik puisinya dijaga penyair Sapardi Djoko Damono. Franz Magnis-Suseno juga menjadi bagian dewan redaksi.
Saya teringat buku Wali Berandal Tanah Jawa karya George Quinn, profesor emeritus dari Australian National University. Itu adalah catatan perjalanannya mengikuti ziarah kubur di Jawa. Tesis buku yang ditulis sangat menarik ini, kira-kira, Islam Indonesia memiliki sifat dan kepribadian yang jauh berbeda dari poros kuno dunia Islam, Timur Tengah. Keunikan itu bersumber pada peradaban kuno Pulau Jawa. Kita boleh saja tidak setuju dengan tesis itu—sebab, jangan-jangan Islam di India, Persia, atau tempat lain juga punya hal unik masing-masing.
Mungkin kita bisa melupakan argumen soal yang unik ini. Soalnya bukanlah unik atau tidak. Yang lebih penting kita punya sejarah panjang perjumpaan nilai-nilai, yang bisa menghasilkan sekadar sinkretisme gado-gado (mengandung banyak inkonsistensi), tapi juga bisa menghasilkan sintesis semacam rumusan “bhinneka tunggal ika”.
Omah Petroek memang dimulai oleh seorang jesuit Jawa. Ia memilih spiritualitas yang terbuka pada segala bentuk ekspresi budaya, melanjutkan sejarah panjang kemampuan berjumpa dan berdialog yang ada di Nusantara. Juga berdialog dengan ekspresi yang kitsch. Tapi di situ jugalah letak keterbukaannya. Saya berdebar-debar apakah ketegangan antara yang banal dan yang sublim itu bisa terus terjaga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Omah Petroek"