Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT seorang lelaki dan seorang perempuan menikah, biasanya kotak pesan di telepon seluler mereka langsung dibanjiri ucapan selamat menempuh hidup baru, baik dari sanak famili maupun handai tolan. Ucapan selamat juga dirupakan dalam bentuk dan media yang lain, tapi redaksi ucapannya kurang-lebih sama. Salah satunya, “Semoga jadi pasangan sejati sampai maut memisahkan. Semoga dikaruniai keturunan yang saleh dan salehah. Semoga menjadi keluarga yang samawa”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata samawa di ujung doa itu adalah akronim dari sakinah, mawadah, warahmah. Ketiga lema tersebut merupakan serapan dari bahasa Arab. Sakinah dan mawadah sudah tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan mudah kita bisa menemukan entri sakinah dengan arti kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan kebahagiaan di sana. Mawadah dengan makna cinta. Tapi tidak untuk warahmah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya sudah mencari kata warahmah di KBBI daring ataupun cetak, tapi tidak berhasil menemukannya. Akhirnya saya tersadar. Saya teringat pelajaran bahasa Arab di bangku kuliah dulu bahwa warahmah bukanlah satu kata yang berdiri sendiri, melainkan dua kata yang ditulis dan diujarkan bersambung. Salah satu kata itu adalah waw (disebut waw athaf atau kata penghubung) yang dalam bahasa Indonesia berarti dan. Adapun yang satunya adalah rahmah. KBBI menulis rahmah dengan rahmat. Perbedaan cara menulis itu tidak mempengaruhi artinya, yakni belas kasih atau kasih sayang.
Karena di ujung akronimnya hanya mengambil kata penghubung waw, kepanjangan samawa pun berhenti pada kata dan sehingga kepanjangannya menjadi kedamaian (sakinah), cinta (mawadah), dan (waw). Ini tentu terasa janggal. Idealnya, penyingkatan itu diubah menjadi samara. Dengan begitu, artinya menjadi lengkap: kedamaian, cinta, dan kasih sayang (rahmah). Ini seperti lazimnya pengakroniman dalam bahasa Indonesia yang menghilangkan kata dan, misalnya Kemenkumham untuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bila ingin mempertahankan waw, akronimnya ditulis lebih lengkap sebagai samawara.
Serupa tapi tak sama, akronim saw di belakang nama Nabi Muhammad juga berakhir di huruf waw, padahal kepanjangannya adalah shallallahu ‘alaihi wasallam (semoga Allah memberikan salawat dan salam kepadanya). Sama seperti pada samawa, keberadaan waw pada saw sebagai athaf yang artinya dan. Bila ditulis saw, kepanjangannya jadi tidak komplet karena berhenti pada kata dan dan kata sallam di belakangnya tertinggal.
Agar kepanjangannya lengkap, ia bisa ditulis sebagai sas (dengan menghilangkan waw) atau lebih lengkap menjadi saws. Alternatif yang terakhir itu merujuk pada akronim swt (subhanahu wata'ala) di belakang tulisan Allah atau ass. wr. wb. (assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh).
Sepengetahuan saya, aturan baku dalam bahasa Indonesia tentang penulisan saw dan swt memang belum ada. Hanya, di dalam literatur-literatur klasik Islam berbahasa Arab, jarang ditemukan tulisan “shallallahu ‘alaihi wasallam” dalam bentuk singkatan. Ada yang hanya dilambangkan dengan satu huruf (shad), ada pula yang dengan empat huruf (shad, lam, ‘ain, dan mim).
Kontroversi masih menyelimuti penyingkatan tulisan subhanahu wata'ala dan shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian pihak berpendapat tidak membolehkan menyingkatnya menjadi swt dan saw. Sebagian yang lain membolehkan. Masing-masing punya argumen sendiri. Meskipun demikian, meskipun tertulis “Allah Swt” dan “Rasulullah saw”, kaum muslim umumnya tetap membaca secara lengkap kepanjangannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Samawa"