Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kehancuran hutan Papua sudah sangat parah.
Kerusakan hutan berdampak hilangnya sumber makanan dan perekonomian orang asli Papua.
Inilah yang menjadi pemicu krisis pangan yang menyebabkan kelaparan dan gizi buruk.
Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Publik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmah Hida Nurrizka
Dosen Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika hutan dirusak, orang Papua kehilangan sumber pangan rumah tangga. Ancaman kelaparan, gizi buruk, dan kematian membayangi silih berganti tanpa henti, karena hutan adalah sumber penghidupan mereka.
Tanah Cenderawasih diciptakan penuh kekayaan alam, terutama kekayaan hutan. Orang asli Papua setempat sangat bergantung pada hutan. Hutan merupakan sumber penghidupan. Rimba bagi mereka ibarat pasar swalayan yang menyediakan beraneka ragam bahan makanan, seperti sagu sebagai sumber karbohidrat, babi dan rusa sebagai sumber protein, serta beraneka sayuran dan tanaman obat.
Itu dulu. Sekarang, ketika pembangunan dilakukan dan aktivitas perusakan hutan masif terjadi di tanah Papua, semua tinggal cerita. Perambahan hutan menimbulkan dampak berupa hilangnya sumber bahan makanan dan perekonomian mereka. Inilah yang menjadi pemicu krisis pangan yang menyebabkan kelaparan dan gizi buruk yang melanda masyarakat.
Perkara kesehatan merupakan salah satu persoalan utama pembangunan Papua, selain masalah lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kelompok yang paling rentan terhadap masalah kesehatan adalah ibu dan anak. Infrastruktur kesehatan dan pemerataan pelayanan yang kurang merupakan biang keladi terjadinya gizi buruk, kematian anak, dan kematian ibu.
Tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan disebabkan oleh terjadinya perdarahan ketika hamil dan melahirkan. Ini dipicu oleh banyak hal, seperti kekurangan energi kronis, kurangnya asupan zat besi, tidak pernah memeriksakan kehamilan secara rutin, dan keterlambatan mendapatkan layanan medis saat melahirkan. Ini semuanya berpangkal dari keterbatasan infrastruktur kesehatan di sana.
Ketika ibu hamil dan melahirkan mengalami risiko kesehatan, dampak berikutnya menjalar pada bayi yang dilahirkannya. Bayi itu bisa mengalami kematian ketika dilahirkan atau bisa selamat. Meski bayi bisa selamat, ia berisiko mengalami gizi buruk, kurus, dan bertubuh pendek. Masalah anak dengan kondisi bertubuh pendek, atau yang dalam istilah kesehatannya disebut stunting, banyak terjadi di Papua.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama sehingga anak memiliki tinggi badan lebih rendah dibanding rata-rata anak seusianya. Anak-anak tersebut berisiko terkena berbagai jenis penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular, dan menyebabkan tumbuh-kembangnya terhambat. Ketika masuk usia dewasa, mereka mengalami gangguan produktivitas.
Di luar masalah teknis kesehatan, risiko gizi buruk dan stunting juga diperparah oleh kondisi lingkungan yang semakin terancam. Dalam pendekatan etnografi, orang Papua merupakan suku bangsa yang hidup secara meramu di hutan. Mereka sangat bergantung pada sumber bahan pangan yang ada di hutan sekitarnya. Hilangnya tutupan hutan telah menyebabkan ancaman terhadap sumber asupan pangan mereka, yang berujung pada kelaparan, gizi buruk, dan seterusnya.
Cerita nestapa yang menimpa perempuan dan anak Papua itu seiring dengan kisah hancurnya hutan Papua. Dari analisis citra satelit resolusi tinggi, yang dirilis oleh Koalisi Indonesia Memantau pada awal Februari 2021, selama periode 2001-2019, kehancuran hutan Papua sudah mencapai 663 ribu hektare. Ini kehancuran terbesar, yang justru terjadi selama rezim pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi.
Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, tambang, hutan tanaman industri, ataupun pembalakan menjalar liar. Misalnya saja, pada 2019, laju perambahan hutan di Papua mencapai 38 ribu hektare. Artinya, dalam satu tahun Papua kehilangan hutannya setara dengan luas 35 ribu lapangan sepak bola, atau satu harinya sebanyak 95 kali lapangan sepak bola. Hilangnya hutan dan bergantinya lahan menjadi perkebunan sawit merupakan pemicu masalah kesehatan bagi masyarakat Papua.
Tak ada cara untuk mengatasi krisis kesehatan ini selain menghentikan laju penggundulan hutan di Bumi Cenderawasih. Janganlah dengan mengatasnamakan investasi, kita harus mengorbankan kehidupan masyarakat. Marilah kita mencari cara yang paling tepat untuk memajukan Papua. Meningkatkan status pendidikan dan kesehatan mereka mungkin cara yang paling baik dilakukan ketimbang mengeksploitasi hutan mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo