Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNDANG-Undang Rumah Susun yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat menjanjikan dengan terang perlindungan konsumen serta kemudahan warga miskin mendapatkan hunian di rumah susun sederhana. Pengesahan undang-undang ini sesungguhnya momentum yang pas untuk mendorong program rumah susun murah pemerintah agar segera kembali ke "khitah", yakni menyediakan hunian vertikal murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui kredit kepemilikan berbunga rendah.
Opsi ini tentu saja akan sangat membantu bila rumah susun tersebut jatuh ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Faktanya, properti murah seperti itu selama ini kebanyakan diborong para pemilik uang untuk investasi. Dari 92 ribu lebih unit rumah susun sederhana milik (rusunami) yang telah dibangun di Jakarta pada 2010, misalnya, hanya sekitar 6.000 yang dijual pengembang dengan harga per unit versi pemerintah, yaitu Rp 144 juta, kepada pembeli yang seharusnya berhak, yakni yang berpenghasilan Rp 2,5 juta per bulan. Sebagian besar lainnya diperjualbelikan dengan hukum dagang saja: harga bagus, barang dilepas.
Karena itulah pemerintah perlu memperluas pengadaan rumah susun murah melalui opsi sewa. Ada beberapa pertimbangan. Mekanisme penyewaan ini akan meluaskan pelayanan kepada warga marginal yang bahkan belum mampu mencicil. Beberapa rumah susun murah swasta di Jakarta dan Surabaya menerapkan uang sewa Rp 100 ribu hingga Rp 130 ribu per bulan. Mekanisme sewa akan memudahkan pengembang mengontrol propertinya. Mereka yang tak mampu merawat atau membuat pelanggaran berat bisa ditegur dengan keras atau dicoret dari daftar penyewa.
Cara ini dengan sendirinya akan menjauhkan pemburu properti murah dari upaya memborong. UU Rumah Susun mewajibkan para pengembang swasta menyediakan 20 persen dari total luas rumah susun komersial mereka untuk hunian vertikal sederhana. Sebagai insentif, mereka mendapat kemudahan dalam pengadaan tanah, proses sertifikasi tanah serta perizinan, fasilitas kredit konstruksi berbunga rendah, hingga penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Jadi, bisalah swasta membantu. Tapi pemerintah wajib berada di garda depan dalam penyediaan hunian susun murah. Tak perlu segan belajar dari rumah-rumah susun murah swasta yang sukses. Perumahan Yayasan Cinta Kasih Buddha Tzu Chi di Kapuk, Jakarta Barat, sangat layak ditengok. Rumah susun dengan luas per unit 36 meter persegi itu ditempati sekitar 3.400 jiwa, yang sebagian besar eks warga bantaran Kapuk Muara, Kali Angke, dengan cara menyewa. Para penyewa berdisiplin merawat kebersihan hunian.
Satu hal yang tak kalah penting adalah tersedianya sarana penopang yang dibangun di dekat apartemen kelas rakyat ini. Kegiatan ekonomi kecil akan hidup dan berkembang bila di sekitar rumah susun murah disediakan pula pasar, kios, tempat daur ulang sampah, atau bengkel hasta karya, yang bisa disewa dengan murah meriah.
Proyek Rumah Susun 1.000 Menara di 10 kota besar di Indonesiatermasuk Jakarta, Surabaya, dan Medanyang melempem perlu digiatkan kembali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggulirkan proyek ini pada 2007 dengan target kelar pada 2011. Sayang, proyek besar ini berjalan terseok-seok: jumlah menara yang rampung sampai sekarang belum sampai 20 persen. Itu pun tak semuanya layak huni. Ini tantangan besar dan penting yang harus segera dijawab oleh Menteri Perumahan Rakyat yang baru, Djan Faridz.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo