Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH lega mendengar kabar, tak lama lagi Komisi Yudisial akan mendapat senjata baru untuk meningkatkan kompetensinya memerangi hakim nakal. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui revisi Undang-Undang Komisi Yudisial, pekan lalu, praktis lembaga yang ditubuhkan pada 2005 ini tinggal menunggu persetujuan Presiden untuk memainkan peran lebih agresif dan menentukan dalam pertarungannya melawan para "hakim hitam".
Bukan apa-apa, dalam beberapa bulan ini masyarakat dikepung aneka pemberitaan tentang hakim yang pada akhirnya membuat mual perut. Tiga bulan lalu, misalnya, orang banyak menyaksikan "keberanian" dua hakim agung menentang rasa keadilan masyarakat. Sementara orang sibuk mengumpulkan "koin buat Prita", keduanya justru membuat putusan yang mengoyak hati nurani: menjebloskan Prita Mulyasari ke penjara. Prita adalah ibu dua anak yang mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni di Serpong, Tangerang, lewat surat elektronik. Perempuan ini dianggap menista rumah sakit itu.
Ada pula kongkalikong hakim dan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, yang membebaskan dua tersangka korupsi (Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat dan Wakil Wali Kota Bogor nonaktif Ahmad Ru’yat); ada hakim yang berani membebaskan terdakwa Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamadpadahal jaksa menuntut sosok yang dituduh melakukan korupsi ini diganjar 12 tahun penjara. Masih banyak kasus lain yang pada intinya menunjukkan keberanian sejumlah hakim melawan logika dan rasa keadilan.
Tentu saja revisi Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial ini tidak serta-merta dapat mengakhiri praktek durjana para "hakim hitam" itu. Namun kita mungkin bisa berharap pertarungan Komisi Yudisial menghadapi para hakim nakal ini berlangsung lebih seru. Undang-Undang Komisi Yudisial yang telah direvisi menawarkan beberapa cara baru untuk menjangkau hakim nakal yangantara lainsuka ngumpet di ketiak institusinya.
Dengan revisi undang-undang itu, konflik antar-institusi sebagaimana lima tahun silam tidak perlu terjadi. Waktu itu, beberapa kali gagal meminta keterangan dari hakim agung yang nakal, lembaga yang belum lagi berumur setahun ini melontarkan gagasan revolusioner: mengocok ulang para hakim agung. Bagi Mahkamah Agung, langkah ini bukannya mendongkrak martabat, tapi justru melecehkan institusi. Di mata mereka, wewenang Komisi Yudisial tak lebih dari mengusulkan pengangkatan, dan sama sekali bukan mengawasi hakim agung.
Dengan revisi undang-undang ini, Komisi Yudisial berhak meminta bantuan aparat melakukan penyadapan terhadap sasaran operasi. Komisi Yudisial juga boleh memanggil paksa saksi dan memberikan rekomendasi sanksi, dari sekadar penundaan kenaikan gaji dan penundaan kenaikan pangkat hingga pembebasan dari jabatan struktural dan pemberhentian tetap. Bila terdapat perbedaan sikap antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, kedua lembaga ini harus bersama-sama memeriksa orang yang bersangkutan.
Semua ini menunjukkan hakim memang bukan malaikat dan layak diawasi. Demikian pula para anggota Komisi Yudisial. Lembaga pembantu yang posisinya setara dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ini kini berada di atas angin. Dan seperti para hakim, mereka tak boleh bergerak tanpa kontrol sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo