Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA saja Deng Xiaoping masih hidup, ia mungkin tak akan percaya. Kapitalisme yang dibawanya masuk pada 1978 dan kini "membesarkan" Cina itu sedang terancam runtuh. Dari Wall Street, jantung kapitalisme dunia, protes atas ideologi besar ini menjalar ke lima benua. Sistem finansial global dituding hanya memakmurkan segelintir korporasi yang rakus. Akibatnya, ketimpangan sosial dan ekonomi kian menganga. "Wabah" yang juga menjangkiti negeri ini.
Aksi protes itu awalnya hanya dimotori para aktivis Adbusters Media Foundation (Kanada), yang getol mengkampanyekan antikonsumerisme. Bertajuk "Occupy Wall Street", aksi "pendudukan" ini berbasis di Zuccotti Park, tak jauh dari gedung bursa New York di distrik finansial Wall Street. "Kami adalah kaum 99 persen," kata mereka. Kaum yang jauh tertinggal dari kelompok 1 persen lainnya: kaum borjuis Amerika.
Aksi perlawanan terhadap ketimpangan itulah yang dengan cepat menjalar ke 900 kota utama di 86 negara. Sedikitnya 100 ribu demonstran membanjiri jalan-jalan di Roma, Italia, pada 16 Oktober lalu. Tak hanya si miskin, para selebritas dan kaum kaya pundi antaranya produser film Michael Moore, artis Susan Sarandon, dan cucu taipan minyak Texas, H.L. Huntikut bergabung.
Pemicunya, seperti kata ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, ada ketidakadilan yang telanjang di mata publik. "Kerugian disosialisasi, sementara keuntungan diprivatisasi." Dan ini, kata Stiglitz, sesungguhnya bukanlah kapitalisme. Bukan pula ekonomi pasar, melainkan distorsi ekonomi. "Jika kita melanjutkannya, kita tidak akan pernah berhasil menciptakan masyarakat yang adil."
Pernyataan Stiglitz bukan tanpa dasar. Dalam dua-tiga dasawarsa terakhir, ketimpangan pendapatan penduduk Amerika terus meningkat. Negeri "Tanah Impian" ini bahkan masuk daftar teratas tingkat ketimpangan negara-negara kaya. Tercatat tahun lalu, seperlima penduduk terkaya Amerika menikmati hampir setengah dari total pendapatan nasional. Sedangkan 15 persen kaum termiskin hanya kebagian jatah 3,4 persen pendapatan.
Kenyataan inilah yang membuat publik Amerika jengkel. Apalagi tiga tahun lalu korporasi-korporasi besar itu diselamatkan oleh triliunan dolar dana publik, yang membuat defisit dan utang pemerintah membengkak, sementara krisis tetap mengimpit rakyat. Lebih menyakitkan lagi, ketika jutaan orang kehilangan pekerjaan dan tempat berteduh, para bos korporasi besar melahap gaji tinggi. "Kami bukan pemimpi," kata filsuf Slovenia, Slavoj Zizek, berseru. "Kami justru sedang bangun dari mimpi buruk."
Fenomena ketidakpuasan inilah yang kini juga mengancam banyak negara, termasuk Indonesia. Dibanding negara lain seperti Cina, Brasil, Malaysia, Filipina, dan Amerika, tingkat ketimpangan pendapatan Indonesiadiukur berdasarkan koefisien Ginimemang relatif lebih rendah. Tapi ini bukan berarti tak bermasalah.
Ancaman kian lebarnya ketimpangan semakin tinggi. Sebab, seperti dilansir Credit Suisse tahun lalu, pertumbuhan ekonomi telah melahirkan lebih banyak orang kaya di negeri ini. Merekalah pemilik harta atau aset yang bisa diinvestasikan sedikitnya US$ 1 juta, yang kini ditaksir jumlahnya lebih dari 60 ribu orang. Padahal masih ada sekitar 30 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Di tengah situasi ini, seperti kata ekonom kenamaan dunia lainnya, Jeffrey D. Sachs, pemerintah perlu lebih kreatif memerangi kemiskinan. Tujuannya bukan semata membuat kita lega. Yang lebih penting adalah melawan ancaman global paling berbahaya: mewabahnya pesimisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo