INILAH cerita Sidi Lahsen Lyusi dari Maroko, sebagaimana
dikisahkan kembali oleh Clifford Geertz dalam buku kecilnya yang
ditulis dengan bahasa yang subtil dan memukau, Islam Observed.
Lyusi, begitulah namanya diringkas, lahir di tahun 1631, di
pegunungan Atlas Tengah, dalam sebuah suku penggembala yang suka
disebut sebagai "orang-orang yang bersendiri." Dalam umurnya
yang kedua puluh, Lyusi turun dari pegunungannya yang jauh itu.
Ia, sebagaimana tersebut dalam hikayat, mula-mula jadi
penziarah, kemudian pemberontak, dan akhirnya seorang suci. Ia
mengembara dari pusat pergolakan politik yang satu ke pusat yang
lain, dari tempat kegaduhan rohani yang satu ke tempat yang
lain.
"Hatiku terserak di seluruh negeriku," tulisnya dalam sebuah
sajak. "O, Tuhan, persatukanlah mereka."
Ketika ia sampai di Tamgrut, untuk bergulu kepada Sufi syeh
Ahmad bin Nasir al-Dar'i, ia dapatkan orang tua itu tengah
menderita sakit yang menjijikkan. Mungkin cacar. Sang guru
menyeru para muridnya agar datang, satu demi satu, meminta
mereka itu mencucikan bajunya. Tapi setiap orang dari mereka
menolak. Setiap orang dari mereka merasa jijik oleh wajah sang
guru dan rupa bajunya. Mereka takut cacar itu mencakar mereka.
Tapi Lyusi datang, meskipun ia tak dikenal siapapun juga. "Guru,
biarkan hamba cucikan baju itu." Maka baju itu pun diberikan
kepadanya. Lyusi pun membawanya ke mata air, digosoknya dan
seraya diperasnya agar kering, ia minum air kotor yang menetes
dari sana. Lalu ia pun kembali kepada sang guru, matanya
menyala, bukan karena penyakit, tapi seolah-olah ia baru saja
meminum anggur yang garang. Lyusi bukan lagi orang biasa. Ia
telah memiliki baraka, semacam kekuatan supernatural.
Maka sejak itu ia pun mashur. Pada suatu hari ia datang ke
Meknes, ibukota yang didirikan oleh Sultan Mulay Ismail.
Mendengar orang suci itu datang, Mulay Ismail menyambutnya
dengan penuh hormat. Ia diberi penginapan yang bagus dan
hidangan yang terlezat. Ia diajak jadi penasihat rohaniahnya di
dekat mahligai.
Tapi pada waktu itu Sultan sedang membangun sebuah dinding besar
mengitari kota. Para pekerja yang membangunnya, baik yang budak
maupun yang bukan, diperlakukan dengan kejam. Pada suatu hari
seorang buruh jatuh sakit sementara bekerja. Ia dihukum: ia
direkatkan ke tembok tempat ia jatuh.
Kawan-kawannya diam-diam mengadu kepada Lyusi. Orang suci ini
diam saja, tak berkata apa pun.kepada Sultan. Tapi tatkala tiba
saat makan malam, dan hidangan dibawa ke kamarnya, Lyusi pun
mulai memecahkan semua piring, satu demi satu. Dan ia terus saja
melakukan ini, malam demi malam, hingga seluruh piring di istana
itu hancur.
Ketika Sultan bertanya apa yang terjadi dengan piring di
istananya, para pelayannya menjawab: "Tamu itu memecahkan
semuanya." Maka Sultan pun menitahkan agar Lyusi dibawa
menghadapnya.
"Tuan, kami telah memperlakukan anda sebagai tamu Tuhan, tapi
anda memecahkan semua piring kami."
"Ah, manakah yang lebih baik -- keramik yang dibikin Allah atau
keramik tanah liat itu?"
Dengan itu Lyusi ingin mengatakan, bahwa ia hanya memecahkan
piring, ciptaan manusia, sementara Sultan mematahkan manusia,
ciptaan Tuhan. Sultan tetap berang, dan makin berang malah.
Lyusi diusirnya. Lyusi meninggalkan istana--tapi berkemah di
luar dekat tembok kota. Tak sabar akan pembangkangan ini, Sultan
sendiri datang berkuda. Lyusi sedang bersembahyang. Ketika
Sultan tetap menerjang, orang suci itu hanya menorehkan
tornbaknya membikin garis.
Melewati itu, kaki kuda Sultan tiba-tiba terbenam ke dalam
tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini