Seorang perempuan tua mencatat di bukunya setiap hari. Di Hanoi, di kota yang lebih tua daripada dirinya, perempuan itu mencatat sesuatu setiap kali ada bus kota yang berhenti di depan halte tempat ia duduk. Sesekali ia berbincang dengan kondektur dan menyapa penumpang yang baru turun dari bus. Ia tidak beranjak dari tempat duduknya hingga malam turun karena itulah pekerjaannya sehari-hari: mencatat.
Hanoi telah menjadi saksi perubahan berbagai "isme": dari saat Prancis memperkenalkan arti kolonialisme, hingga ketika para petani mengenal kata komunisme. Dari masa Ho Chi Minh membara, membawa rasa benci yang tak ingin ia tanggalkan pada bentuk penjajahan, hingga akhirnya ketika terjadi perang saudara dan Amerika masuk. Hanoi menjadi saksi yang semakin tua dan lelah oleh sejarah.
Di abad yang baru ini, Vietnam—tentu saja bersama Hanoi—memperlihatkan sebuah semangat baru, terutama pada tahun 1990-an ketika Vietnam menjadi "wanita jelita" bagi para investor. Roda ekonomi mulai berputar dan infrastruktur Vietnam mulai memperlihatkan perkembangan yang dramatik.
Nun di wilayah kota tua yang masih memelihara arsitektur bangunan Prancis, Hanoi masih menyimpan sisa-sisa pojok sejarahnya. Kota dengan sebutan seribu danau ini menjadi semakin unik dengan banyaknya orang jompo yang masih bekerja untuk memenuhi ke- butuhan hidupnya. Menjadi juru parkir, penjual sepatu, tukang cukur, penarik cyclo (becak Vietnam), penjual suvenir, dan penjual bambu adalah pekerjaan sehari-hari yang mereka tekuni. Deru dan debu sepeda motor yang menjadi ciri khas kota itu tidak menjadi penghalang bagi kaum jompo untuk men- jalani aktivitas tersebut.
Semangat untuk mempertahankan hidup terus terpancar dari wajah-wajah tua itu ketika mereka me- lakukan pekerjaannya. Teriakan "Vietnam vo dich" (Vietnam juara) sesekali terlontar dari mulut mereka saat menawarkan pin, kaus, bendera, dan aneka suvenir Vietnam. Di pojok yang lain, seorang nenek tua dengan wajah dingin menghampiri setiap orang lewat untuk menawarkan potongan bambu yang dijual di rumahnya. Dia terus menawarkan dagangannya tanpa peduli wisatawan yang lewat itu mengerti atau tidak. Namun, semangat saja kadang kala tidak cukup; ada pula yang tertidur karena tubuh yang telah digerogoti lelah dan usia.
Teks dan foto: Hariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini