MENKO Ekuin telah memberikan isyarat. Akan segera ada deregulasi di beberapa sektor riil, termasuk otomotif. Pengumuman itu dilakukan di Kupang, daerah yang hanya "kebagian" dampak negatif dari industri otomotif yang tidak efisien dalam bentuk harga mobil yang mahal. Deregulasi industri otomotif merupakan salah satu ujian apakah Pemerintah betul-betul serius untuk meningkatkan efisiensi ekonomi Indonesia dan mendorong rasionalisasi di industri pemboros devisa terbesar tersebut. Ataukah seperti pengalaman deregulasi terbatas ala Pakjun 1991 yang kemudian "ditarik" kembali karena lobi kelompok otomotif yang kuat? Setelah proteksi industri otomotif yang sudah berlangsung selama 15 tahun, apakah yang kita dapat? Harga mobil di dalam negeri beberapa kali lipat dari harga mobil di negara-negara tetangga. Harga yang lebih mahal tersebut sebagian merupakan subsidi tidak langsung dari konsumen kepada industri otomotif Indonesia. Industri otomotif adalah juga salah satu dari industri pemboros devisa terbesar. Setiap tahunnya, impor komponen otomotif mencapai US$ 1,2 milyar per tahun, yang merupakan beban berkelanjutan dari defisit transaksi berjalan kita. Nilai ekspornya boleh dikatakan tidak berarti: hanya sekitar US$ 50 juta -- nilai ekspor yang hampir sama dengan nilai ekspor produk kosmetik (terutama tradisional) yang sama sekali tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Dari segi nilai total produksi, hanya 0,4 % yang diekspor. Tingginya proteksi terhadap industri otomotif Indonesia bisa dilihat dengan tingkat proteksi nominal (nominal rate of protection), yaitu sebesar 80%. Tetapi jika kita memasukkan efek dari semua tarif komponen dan pembatasan impor mobil, tingkat proteksi efektif (effective rate of protection) yang diberikan luar biasa tingginya, diperkirakan mencapai 600%. Dengan tingkat proteksi setinggi itu, tidak aneh jika banyak merek bisa tetap survive walaupun tingkat produksi mereka hanya beberapa ribu unit. Struktur proteksi sebesar itu telah mengakibatkan distorsi alokasi sumber daya dalam ekonomi nasional. Sumber daya yang langka, modal maupun tenaga profesional, "tertarik" untuk terjun ke dalam sektor dengan proteksi tinggi. Sektor tersebut "menguntungkan" dilihat dari segi investasi finansial, tetapi merugikan dilihat dari segi ekonomis maupun sosial dan sama sekali tidak mempunyai basis untuk kompetitif di pasar internasional. Bahwa proteksi tersebut sangat menguntungkan terlihat dari sumber akumulasi terbesar dari produsen terbesar dalam bidang otomotif. Walaupun mereka telah melakukan diversifikasi ke berbagai sektor, kontribusi keuntungan terbesar dari konglomerat tersebut masih berasal dari sektor otomotif. Rente ekonomi yang didapatkan dari proteksi industri otomotif telah digunakan sebagai basis untuk ekspansi ke sektorsektor nonotomotif, dan bukan untuk memperdalam struktur industri otomotif itu sendiri. Banyak dari ekspansi di luar industri otomotif tersebut yang juga bersifat spekulatif. Kemampuan spekulatif tersebut didorong oleh tersedianya rente ekonomi yang lucrative dari sektor otomotif. Salah satu persoalan penting yang dihadapi industri otomotif Indonesia adalah skala produksi industri yang masih sangat kecil dan fragmented. Bahkan pada saat ekonomi sedang boom pada tahun 1990, volume penjualan hanya mencapai 270 ribu unit. Sebagai akibat dari kebijaksanaan uang ketat, ekspansi kredit minimum, dan pengenaan pajak barang mewah sebesar 35%, volume penjualan diperkirakan akan turun tajam pada 1992 ini. Fragmentasi struktur industri terlihat dari banyaknya merek dan model mobil yang beredar. Ada 23 merek dan hampir setiap merek mengeluarkan model baru setiap tahunnya. Banyak merek yang mempunyai skala produksi di bawah 10 ribu unit skala produksi yang betul-betul tidak efisien dan hanya bisa survive karena proteksi yang luar biasa tinggi. Fragmentasi struktur industri tersebut juga mempunyai dampak negatif terhadap usaha lokalisasi komponen. Seperti diketahui, program lokalisasi komponen selama ini boleh dikatakan gagal untuk mendorong pertumbuhan industri komponen yang bisa diandalkan dan efisien. Setelah 15 tahun, hanya sekitar 20% komponen yang dapat dibuat di dalam negeri. Semakin dalam program lokalisasi komponen, semakin mahal biaya produksinya karena komponen makin terspesialisasi dan skala produksi semakin kecil. Hanya komponen yang interchangeable, artinya yang bisa dipakai oleh setiap merek mobil, yang bisa meningkatkan skala produksi sehingga kompetitif di pasar internasional. Dengan permintaan pasar domestik sebesar itu, seharusnya hanya ada maksimum tiga merek mobil dengan jumlah model yang terbatas setiap tahunnya. Negara seperti Korea Selatan melakukan langkah pengembangan strategis dengan membatasi jumlah merek mobil sehingga akhirnya sukses dalam ekspor mobil. Hanya dengan restrukturisasi dan penciutan merek, industri otomotif Indonesia bisa memanfaatkan economics of scale sehingga kompetitif di pasar internasional. Dengan penciutan merek, usaha lokalisasi komponen baru bisa didorong secara efektif karena variasi jenis komponen akan jauh berkurang sehingga biaya produksi bisa ditekan. Timbul pertanyaan apakah deregulasi otomotif yang akan datang akan terbatas hanya pada penurunan tarif komponen ataukah akan lebih jauh lagi sehingga komponen maupun mobil bisa diimpor bebas. Jika yang dilakukan terbatas pada penurunan tarif komponen, dampak positifnya akan sangat terbatas. Produsen otomotif akan bertepuk gembira karena biaya produksi akan turun sehingga bisa mengimbangi kelesuan penjualan tahun ini. Dilihat dari segi Pemerintah, pengurangan tarif komponen otomotif hanya akan mengurangi pendapatan dari tarif impor tetapi tidak akan mendorong restrukturisasi industri otomotif menjadi lebih efisien. Efisiensi produksi hanya dapat dicapai dengan penciutan merek sehingga manfaat dari economics of scale dapat dicapai. Salah satu caranya: pembebasan impor seluruh produk otomotif. Apakah waktunya sudah tiba atau lobi otomotif lebih kuat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini