Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai hewan langka kembali muncul di taman nasional.
Pandemi Covid-19 telah memberikan jeda bagi ekosistem hutan untuk pulih.
Jeda ini harus dipertahankan dengan tidak membuat regulasi yang merusak lingkungan.
PANDEMI Covid-19 telah mengistirahatkan gunung dan hutan dari jarahan tangan-tangan manusia. Selama masa pandemi, tempat-tempat wisata dan pendakian di taman nasional tutup. Ini justru membuat hutan-hutan kembali sunyi. Satwa langka yang selama ini sulit ditemukan kembali muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kodok merah, misalnya, kembali bernyanyi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat, sejak Juni 2020. Kodok yang terancam punah ini tidak pernah terlihat di sana dalam 134 tahun terakhir. Di taman ini pula sepasang elang Jawa, yang juga termasuk hewan yang terancam punah, menetaskan telurnya beberapa kali. Kelinci Sumatera, kelinci endemis Sumatera yang sangat langka, ditemukan kembali di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas di kedua taman itu melaporkan, selama dua tahun masa pandemi, mereka menyaksikan kemunculan banyak hewan yang selama ini tak tampak batang hidungnya. Contohnya beruang madu, burung delimukan zamrud, kucing emas, kucing batang, dan macan tutul Jawa. Satwa-satwa liar itu bahkan berani bermain-main di area perkemahan dan tempat-tempat yang selama ini dipenuhi wisatawan.
Hewan-hewan itu selama ini sudah menderita oleh ulah manusia, yang memburu dan merusak alamnya. Mereka pun terancam punah karena perubahan iklim—juga disebabkan oleh kerakusan manusia—yang membuat kehidupan mereka makin rentan. Munculnya kembali hewan-hewan langka menunjukkan bahwa pandemi telah memberi jeda bagi alam untuk pulih setelah sekian lama terganggu oleh kehadiran manusia. Kehidupan satwa-satwa liar itu penting untuk menjaga keseimbangan alam, yang selama ini justru sering diabaikan.
Ekosistem yang kembali pulih ini sepatutnya terus dijaga. Taman-taman nasional perlu menata kembali pengelolaannya sehingga keadaan yang sudah membaik ini dapat makin baik. Pemerintah pun seharusnya mendukung pemulihan alam dengan tidak membuat kebijakan yang merusak lingkungan. Aturan yang telanjur terbit dan berpotensi merusak habitat hewan langka seharusnya dicabut saja. Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya. Demi kepentingan investasi, omnibus law itu malah memberi keleluasaan bagi perusahaan untuk merambah hutan. Status kawasan hutan bisa diubah semaunya. Jadi undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi itu seharusnya dicabut permanen. Jangan menunggu dulu hutan-hutan rusak dan satwa-satwa binasa.
Kodok merah dan pandemi telah mengajarkan kepada kita bahwa bumi memiliki mekanisme sendiri untuk memberi manfaat optimum bagi kehidupan. Gangguan pada satu bagian bumi bisa berarti kematian di bagian lain. Kerusakan pada sepetak hutan berarti bencana bagi kawasan sekitarnya. Punahnya seekor kodok berarti kematian bagi satwa pemangsanya. Hal itu terlalu penting untuk diabaikan.
Sudah saatnya negara ini meninggalkan pandangan bahwa alam bisa diutak-atik seenaknya. Kerakusan manusia harus dihentikan. Jeda selama pandemi perlu “diperpanjang” dengan tidak membiarkan manusia kembali merusak lingkungan hidup. Di seluruh dunia, kegiatan bisnis sudah memasuki ekonomi yang ramah lingkungan. Indonesia pun seharusnya sudah melangkah ke sana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo