Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Darah di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang, koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Sepasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika dipantek dengan paku besi pada kayu salib....
Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? Saya menonton The Passion of the Christ di sebuah gedung bioskop yang khidmat tanpa mengunyah brondong jagung. Saya menyaksikan sebuah pornografi penyiksaan.
Pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa yang selama ini tak dianggap pantas: menggambarkan tubuh manusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang optimal. Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai dengan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitassebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah peristiwa badan.
Dalam The Passion of the Christ, film karya Mel Gibson itu, apa yang selama ini tak lazim justru dibentangkan dengan bersemangat di layar putih. Film ini menerobos tabu dalam hal ini. Tradisi gambar klasik penyaliban umumnya terasa bersihseakan-akan bersih berarti sucihampir selalu tampak tanpa darah, tanpa gerak. Pada ikon-ikon kuno terasa sikap orang Kristen lama yang menganggap penyaliban lebih sebagai perjalanan rohani menuju kemenangan. Satu kekecualian yang tak terduga-duga tampak pada karya Hans Holbein Muda dari tahun 1521: tubuh Yesus terbaring kurus, luka, sendirian, dengan mata masih terbuka kesakitansebuah gambaran kesengsaraan badan yang begitu mencekam hingga Dostoyewski, dalam novel terkenalnya, Idiot, menyebut lukisan itu sebagai sesuatu yang bisa mengguncangkan iman.
Tapi bahkan karya Holbein tak menampilkan jasad yang berlumur darah, dan luka itu menakutkan justru karena seperti membisu. Karya yang lebih modern juga tak hendak memekikkan apa yang memang brutal dalam tiap penyaliban. Kanvas Rouault dari tahun 1930-an tentang sengsara Kristus, misalnya, berhasil menampilkan suasana misterius dan muramdengan penggunaan teknik "impasto" dan garis luar yang tebaltapi tak terasa ada tubuh di sana; yang hadir hampir sepenuhnya puisi spiritual.
Seakan-akan di kalangan Kristen masih berlaku kata-kata Goethe: "Kita tutupi dengan cadar penderitaan Kristus, semata-mata karena kita menghormatinya begitu dalam."
Tapi pada tahun 2004, Mel Gibson merobek cadar itu. Apa yang pernah digambarkan satu naskah kuno Gereja Syria tak terdapat lagi di dalam The Passion of the Christ-nya: "Hari menjadi gelap sebab mereka sedang membantai Tuhan, yang ditelanjangi di atas pohon". Golgotha dalam film Gibson penuh dengan close-up di bawah sinar matahari. Ia ingin agar gambaran yang dicapainya "realistis" dalam memaparkan kesakitan Yesusdan "realistis", dalam tradisi Hollywood, adalah sesuatu yang terang benderang, dapat dilihat dengan mata telanjang.
Tapi sebagaimana "realisme" iklan, tak ada yang datar di sini. Yang lebih terasa bukanlah "realisme" sehari-hari, sebab tampak benar hasrat untuk memukau, meyakinkan. Salah satu adegan yang paling brutal dalam film inilebih brutal dari film Si Pitung, yang pada satu saat menggambarkan mata yang dicongkel dengan satu pukulan silatadalah pemaparan panjang ketika Yesus diikat di sebuah tonggak dan dihajar oleh dua aljogo Romawi dengan pecut kayu dan cambuk yang ujungnya bertembilang besi. Daging di pinggang kelihatan terkelupas dalam darah, terenggut. Yesus mengaduh. Kedua penyiksa itu tertawa puas: sadisme dalam bentuknya yang paling terbuka.
Saya bukan orang Kristen, dan saya tak merasa memperoleh apa pun dari sensasi itu. Dari The Passion of the Christ saya tak bisa mendapatkan pengertian, kenapasetelah hukuman yang luar biasa bengisnya itudosa manusia menjadi tertebus. Saya lebih cenderung memahami pendapat René Girard ketika ia mengemukakan bahwa kepercayaan tentang upacara korban sebagai jalan agar manusia selamat adalah justru sebuah kepercayaan pra-Kristen. Bukankah itu juga yang diyakini pada masa Inca purba, ketika mereka menyembelih korban manusia ke hadapan dewa-dewa? Bagi Girard, cerita kesengsaraan Yesus justru perubahan radikal dari keyakinan seperti itu. Passio Christi adalah awal sebuah era ketika sejarah manusia tak dilihat dari kacamata mereka yang menang dan selamat, melainkan dari ia yang disiksa: para budak yang membangun piramida, kaum jelata yang menjalani rodi bagi jalan Daendels pada abad ke-19 di Jawa, para tahanan yang tak bersalah yang menyebabkan sebuah masyarakat "aman dan terkendali".
Mungkin itu sebenarnya yang bisa dicapai oleh The Passion of the Christ. Film dimulai dengan adegan malam di Kebun Gethsemani: Yesus dalam keadaan ketakutan, berdoa sendirian dalam gelap, karena ia tahu nasib apa yang menantinya. Ia mencoba menolak nasib itu: ia memohon kepada Tuhan agar ia dibebaskan dari tugas. Tuhan tak berkenan, sebagaimana Tuhan tak melepasnya dari salib.
Namun jika semua ini iradat Tuhan, haruskah via dolorosa itu, jalan kesengsaraan itu, tak putus-putusnya penuh kekejaman? Film Mel Gibson pada akhirnya terasa sebagai sebuah hiperbol. Semuanya dilebih-lebihkan, sampai tingkat yang meragukan: kenapa Yesus, seseorang yang dihukum bukan karena berbuat kejam, diperlakukan jauh lebih sadistis ketimbang para penjahat yang juga disalibkan bersamanya di siang hari itu? Dalam film Mel Gibson, tubuh para bajingan itu tampak tak bergelimang darah tak terbalut debu, tak ada tanda mereka telah didera sebelum dikirim ke Golgotha.
Hiperbol memang diperlukan, tapi jika efek yang diharapkan terjadi. Di sekitar kesengsaraan yang luar biasa itu, tak terasa oleh saya sesuatu bergetarada orang ramai, ada beberapa sosok orang yang jatuh hati, tapi The Passion of the Christ sedikit sekali mengantar kita kepada cerita lain dari Yesus: bagaimana laku yang begitu menggugah, yang dirumuskan dengan satu kata, "Cinta", lebih besar ketimbang "Sakit".
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo