Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garibaldi Venture Fund Ltd. terpaksa menunda pestanya. Perusahaan investasi yang berbadan hukum di Singapura itu harus bersabar untuk meraup keuntungan besar yang sudah membayang di depan mata.
Kisahnya bermula dari tender di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sebelum tutup klinik, dokter perbankan itu menggelar penawaran penjualan saham melalui Program Penjualan Aset Investasi III.
Yang dijajakan antara lain adalah 78 persen saham PT Gajah Tunggal Tbk. (GT Tire) dan 20,4 persen saham PT GT Petrochem Industries Tbk. Kedua perusahaan itu dulunya milik taipan Sjamsul Nursalim, bos Grup Gajah Tunggal.
Garibaldi kemudian ikut menawar. Tentu setelah sebelumnya menyimak baik-baik isi perut perusahaan yang ditawarkan. Sampai babak akhir, ternyata Garibaldi berhasil menyisihkan empat pesaing lain dengan tawaran Rp 1,83 triliun. Jumlah itu sedikit di atas harga dasar tender, yaitu Rp 1,7 triliun.
Padahal Badan Pemeriksa Keuangan pernah menaksir nilai kedua aset itu setidaknya sekitar Rp 7,5 triliun. Sekilas saja sudah terlihat, Garibaldi mendapat diskon hingga 76 persen. Tapi, tak seperti lazimnya pemenang tender, Garibaldi tak segera melunasi pembayaran.
Sampai sang dokter tutup klinik pada 27 Februari lalu, Garibaldi baru membayar Rp 550 miliar alias cuma 30 persen dari harga yang telah disepakati. Perusahaan investasi itu kabarnya menjanjikan akan melunasi sisanya setelah BPPN membereskan penyelesaian kewajiban pemegang saham Sjamsul. Mengapa? Mereka ingin berhati-hati dan tak mau terjebak masalah bila penjualan dua perusahaan tersebut tiba-tiba dibatalkan lantaran Sjamsul dinilai tak menyelesaikan kewajibannya.
Alasan ini sebetulnya sulit diterima. Soalnya, penjualan aset konglomerat lain, seperti Soedono Salim (Grup Salim), bisa dilakukan dengan lancar meskipun penyelesaian perjanjian kewajiban pemegang sahamnya belum tuntas. Selain itu, Sjamsul juga dinilai telah membereskan persoalan utang bantuan likuiditas Bank Indonesia senilai Rp 28,4 triliun.
Bekas pemilik PT Bank Dagang Nasional Indonesia Tbk. itu dianggap telah melunasi utang dengan membayar kontan Rp 1 triliun. Sisanya dibayar dengan menyerahkan saham GT Petrochem senilai Rp 5,358 triliun, GT Tire (Rp 2,175 triliun), dan tambak udang Dipasena Citra Darmaja (Rp 19,961 triliun). Alhasil, konglomerat yang kini bermukim di Singapura tersebut dinilai sebagai debitor yang kooperatif. BPPN bahkan telah merekomendasikan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan supaya memberi surat keterangan lunas kepadanya.
KKSK kemudian menyetujui pemberian surat lunas itu asal persoalan tagihan GT Petrochem senilai Rp 1,2 triliun kepada Dipasena dituntaskan. Utang Dipasena berasal dari penyaluran dana GT Petrochem dari tahun 1999 sampai 2002. Dana tersebut disalurkan agar tambak udang di Lampung itu bisa terus berputar.
Dalam payung perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement yang diteken Sjamsul, manajemen memang berkewajiban mengambil langkah apa pun agar aset yang dikelolanya tidak rusak.
Bisa dibayangkan, jika penjualan itu lolos, Garibaldi bakal untung berlipat ganda. Ia cuma mengeluarkan Rp 1,83 triliun untuk membeli dua perusahaan senilai Rp 7,5 triliun yang salah satu di antaranya masih memiliki tagihan Rp 1,2 triliun ke Dipasena. Di masa depan, tagihan itu bisa saja dikonversi menjadi saham. Jadi, sekali tepuk, Garibaldi bisa punya tiga aset sekaligus, GT Tire, GT Petrochem, dan Dipasena.
Akhirnya, pertengahan Maret lalu KKSK mengeluarkan keputusan akan memberikan surat lunas kepada Sjamsul, tapi dengan syarat tagihan GT Petrochem kepada Dipasena dihapuskan. "Kami tak ingin masih ada urusan utang-piutang antar-perusahaan bekas milik Sjamsul di BPPN," kata Sekretaris KKSK, Lukita Dinarsyah Tuwo.
Bekas Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Investasi, Taufik Mapaenre Ma'roef, yang kini menjadi Deputi Ketua BPPN Transisi Bidang Hukum, ikut nimbrung. Ia mengatakan utang itu harus dihapus karena Dipasena mesti diserahkan ke Perusahaan Pengelola Aset dalam keadaan bersih. "Jadi, dia enggak punya kewajiban apa-apa lagi," katanya seperti dikutip Koran Tempo.
Cerita kemudian bergerak bak komedi putar. BPPN meminta Garibaldi menghapus utang Dipasena. Permintaan itu tak langsung dipenuhi Garibaldi. Mereka beralasan perlu menanyakan terlebih dahulu soal itu kepada pemegang sahamnya.
BPPN tak mau kalah gertak. Jika GT Petrochem tak mau menghapus utang Dipasena, penjualan dibatalkan. "Uang muka dari Garibaldi akan dikembalikan," kata Taufik.
Akhirnya, dua pekan lalu digelar sebuah pertemuan di Bali antara Dipasena, GT Petrochem, Tunas Sepadan Investama, dan Garibaldi. Hasilnya? Secara lisan, Garibaldi menyatakan bersedia menghapus utang Dipasena. Dan Sjamsul akhirnya bisa mendapatkan surat keterangan lunas.
Ketua BPPN Syafruddin Temenggung meminta agar kesepakatan itu dibuat secara tertulis dalam sebuah perjanjian. Tak hanya itu, penandatanganan penjualan dan pelunasan sisa pembayaran harus sudah terlaksana sebelum 14 April.
Sekilas tindakan KKSK dan BPPN terkesan heroik. Mereka berhasil menyelamatkan pemerintah dari kebobolan besar akibat penjualan aset Gajah Tunggal. Tapi, bila diteliti lebih cermat, tindakan itu sesungguhnya mengandung sejumlah kejanggalan.
Pertama, dalam setiap penjualan asetnya, BPPN selalu menetapkan syarat bahwa calon pembeli merupakan investor independen yang tidak terkait dengan pemilik lama. Nah, jika Garibaldi diasumsikan sebagai investor independen, mengapa KKSK menetapkan syarat tambahan untuk mengeluarkan surat keterangan lunas bagi Sjamsul berupa penghapusan tagihan ke Dipasena?
Kedua, tekanan BPPN kepada Garibaldi agar menghapus utang Dipasena mestinya meletupkan kekecewaan perusahaan investasi itu. Tapi Garibaldi mengalah dan bersedia menghapusbukukan utang Dipasena. Tindakan itu kiranya sulit dilakukan oleh investor yang murni mengejar keuntungan.
Seorang mantan pejabat di BPPN mengaku heran dengan apa yang dilakukan Garibaldi. Kendati di atas kertas sulit dibuktikan, "Sulit memahami logika itu bila tak ada modal Sjamsul di sana," katanya.
Sebelumnya, memang beredar tengara bahwa duit Garibaldi berasal dari konsorsium pengusaha swasta di Indonesia. Apakah Sjamsul termasuk di dalamnya?
Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, yang sedang berada di Perth, Australia, berkali-kali menampik adanya hubungan antara Garibaldi dan kliennya. "Sama sekali tidak ada," ujarnya melalui sambungan telepon internasional. Menurut Maqdir, keputusan Garibaldi itu sepenuhnya urusan mereka dengan BPPN. "Yang penting, BPPN wajib memberikan surat lunas yang menjadi hak Pak Sjamsul," ujarnya. Selebihnya, Maqdir tak mau banyak berkomentar dengan alasan sudah lama tidak bertemu kliennya itu.
Informasi tentang Garibaldi sendiri begitu minim. Pertengahan Maret lalu di majalah Modern Tire Dealer, yang terbit di Amerika, ada secuil berita tentang Garibaldi, yang dikabarkan sedang berunding dengan raksasa ban Michelin untuk mengambil alih Gajah Tunggal. Di luar itu, tak ada keterangan lain.
Perusahaan ini mestinya terdaftar pada Registry of Company & Business Singapore. Tapi TEMPO, yang menelusuri situsnya di Internet, hanya menemukan Garibaldi Pte., sebuah perusahaan katering. Bukan Garibaldi Venture Fund yang membeli aset Gajah Tunggal.
Banyak hal dalam transaksi tersebut mungkin akan tetap tinggal sebagai misteri. Dan ini bukan kejadian aneh yang pertama dalam penjualan aset kakap BPPN.
Nugroho Dewanto, M. Syakur Usman, Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo