Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability
Penulis: Amy L. Chua
Penerbit: Doubleday, New York, 2003; x + 340 hlm
Etnis minoritas penguasa pasar hampir selalu jadi sasaran kekerasan kelompok mayoritas ketika terjadi gunjang-ganjing pasca-keterbukaan politik. Banyak korban dan pelajaran tentang itu, tapi rumus pencegahnya masih samar.
Lihat rusuh anti-Cina di Indonesia, industri penculikan orang-orang Cina di Filipina, nasib orang Libanon di Afrika Barat, orang India di Afrika Timur, orang Yahudi di banyak negara, atau orang Amerika sebagai minoritas penguasa dunia. Amy L. Chua, pengarang buku ini, dari keluarga Cina Filipina, keluarga konglomerat pabrik plastik, menyodorkan gambaran yang mungkin sangat berguna. Ia memberi perhatian serius pada commonalities: mengapa satu negeri gagal dan yang lain mampu mengatasi persoalan kegamangan masyarakat pasca-kekerasan etnis.
Profesor hukum dan studi konflik etnis di Universitas Yale, AS, ini melihat demokrasi di negara-negara Kolombia, Rwanda, Afrika Selatan tak kuasa mencegah pembabatan minoritas kaya. Etnonasionalisme terbakar, dan kebencian tumpah terhadap etnis minoritas. Di negeri-negeri itu, pasar bebas dan demokrasi (kebebasan politik) tak dapat akurpadahal, autokrasi Pinochet di Cile, Fujimori di Peru, Idi Amin di Uganda, Duvalier di Haiti juga tak membawa sukses ekonomi.
Chua mengkritik teoretisi seperti Kaplan dan Lipset, yang tak mempedulikan masalah global dari minoritas penguasa pasar. Kaplan menyebut bias etnis demokrasi elektoral, tapi tak melihat bias etnis dari kapitalisme. Dampaknya sudah dialami oleh orang Ibo di Nigeria, Cina di Indonesia, kebrutalan di Sierra Leone, perampasan tanah orang kulit putih di Zimbabwe, dan Amerika di tengah masyarakat internasional dengan kejadian 11 September.
Semuanya serupa: kebencian mayoritas pribumi miskin terhadap minoritas kaya. Negeri-negeri yang dilanda kekerasan itudengan masyarakat yang baru saja lepas dari penjajahan dan dengan komposisi etnis tak seimbang, baik dalam modal keuangan maupun manusianyaterlalu cepat dicangkoki pasar bebas.
Chua menyoroti empat contoh yang sukses mencegah kekerasan etnis. Malaysia dengan tindakan afirmatif pro-Melayu, RRC yang berusaha menahan masuknya gelombang demokrasi dengan melakukan represi selektif, dan negara-negara yang mendahulukan "nilai-nilai Asia" seperti Singapura, Jepang, Vietnam, Arab Saudi (plus Korea). Thailand dipandang sebagai kekecualian karena sukses asimilasi minoritas dengan pribumi.
Chua membandingkan kasus-kasus sukses dan gagal itu, dan muncul dengan tiga syarat: peningkatan pertumbuhan pasar harus tetap dilakukan, demokrasi tetap dikembangkan tapi bukan tanpa pembatasan dan penyesuaian dengan nilai lokal. Di samping itu, upaya mencegah pengejaran dan kekerasan etnis secara asertif harus dilakukan. Yang baru dalam buku ini adalah konfirmasi Chua untuk para pengambil kebijakan yang tak kunjung menerapkannya di lapangan.
Chua melangkah lebih jauh. Ia mencatat empat dimensi penyelesaian masalah minoritas pendominasi pasar. Pertama, kemampuan kebijakan publik membuka peluang yang adil untuk semua (misal akses pendidikan). Dua, tingkat partisipasi kalangan mayoritas dalam pasar global (seperti dengan tindakan afirmatif ala Malaysia). Tiga, kesuksesan mengembangkan demokrasi yang tak cuma berpihak pada mayoritas (misal alternatif represi selektif di RRC). Terakhir, usaha minoritas kaya itu sendiri mengatasi dampak kekerasan politik etnonasionalis secara langsung (misal model filantropis biliuner George Soros atau Roman Abramovich).
Memang ada kelemahan dalam tiap-tiap cakupan penyelesaian. Bukankah Rusia tetap tak stabil dan miskin meski 99 persen penduduknya melèk huruf? Bukankah mantan Perdana Menteri Malaysia dikenal sebagai etnonasionalis? Model filantropis sekarang sudah mendekati sumbangan karitatif? Bagaimana kita menjamin afirmasi konstitusi untuk demokrasi jika penegakan hukum di negara miskin umumnya amburadul? Bukankah, meski tampak sukses, RRC tetap autokratis? Idealnya adalah melakukan semuanya secara seimbang dan terus-menerus jadi kebijakan minimal dari penyelenggara negara.
Sangat sadar bahwa dirinya tak mengarah ke panasea jitu, tesis yang dicoba dipertahankan Chua, yang bibinya juga tewas digorok oleh pribumi Filipina, tampaknya lebih bernada peringatan: "Kalau Anda terlalu cepat memasukkan pasar bebas dan demokrasi, lihat akibatnya: pembantaian minoritas etnis."
Prasetyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo