ORANG Jawa suka GR. Mereka punya tesis bahwa agama Islam diturunkan di negeri Arab karena keampuhan seorang nabi harus dirty out dalam suatu kondisi masyarakat yang paling "rawan kejahiliahan". Kalau Muhammad lulus di Arab, insya Allah di tempat lain lebih gampang. Tak seorang nabi pun yang diturunkan di Jawa dan bersuku Jawa karena masyarakat Jawa sudah lumayan sanggup menyerap informasi-informasi religiusitas -- secara universal, melalui ayat alam semesta dan ayat dalam diri manusia sendiri. Ayat verbal kewahyuan, yang kemudian datang kepada mereka, "sekadar" diperlukan untuk melegitimasikan penemuan-penemuan religius mereka sendiri. Ini bisa main-main bisa sungguhan. Main-main karena dagelan itu tidak pernah masuk ke dalam khazanah pemikiran Islam Jawa di "panggung resmi". Tapi bisa jadi sungguhan karena sosiologi agama yang kita anut sering menyebut Agama Jawa atau Kejawen. Bahkan pentas budaya politik atau politik budaya kita melegalisasikan Aliran Kepercayaan yang Kitab Sucinya mungkin sedang dalam proses untuk disusun. Aliran Kepercayaan punya jatah waktu yang sama di TV dengan agama-agama lain untuk unjuk gigi, unjuk muka, dan unjuk rasa. Tesis ini biasanya diperkuat dengan berita-berita dari masa silam yang hampir mustahil dilacak oleh ahli-ahli sejarah. Misalnya, hanya kaum mufsidin (perusak) yang kadar kejahiliahannya tinggi belaka yang "sanggup" mengubah negeri ijo royo-royo menjadi padang pasir. Zaman Nabi Nuh kan tidak susah mencari kayu sebanyak apa pun untuk membuat perahu raksasa. Pada dekade pasca-Nuh, yakni di era Nabi Hud, bahkan peradaban sudah sedemikian tinggi: iroma dzatil 'imad, gedung-gedung mencakar langit.... Lantas beberapa kali peradaban umat manusia mengalami "kekeliruan ideologi pembangunan" yang berujung pada penghancuran, kemudian pembusukan. Terproduksilah samudera padang pasir, sementara endapan-endapan "chaos ekosistem"-nya menjadi sumber minyak. Bangunan-bangunan peradaban tumbuh, memuncak, dan mati, bagai pepohonan: bersemi, berkembang, berbuah, tanggal dedaunannya, membusuk batang dan akarnya. Arab Saudi abad ke-20 adalah iroma dzatil 'imad. Karena itu, mereka butuh bertanya kepada diri sendiri apakah "daun-daunnya tak makin berguguran": sikap politiknya, etika sosialnya, kecenderungan kebudayaannya, atau tradisi perilaku kemanusiaannya. Tapi orang Jawa jangan besar kepala dulu. Para "kekasih Allah" yang utama mbludag jumlahnya di Timur Tengah. Mereka mewarnai dunia dengan prestasi tinggi religiusitas dan ilmu pengetahuan. Kaum pencinta agama yang memproses prinsip tauhid secara eksklusif -- tauhid ialah bersatunya realitas peradaban dengan kehendak Tuhan -- pasti mengetahui acuan 'Arab tan 'Ain. Kalau kata 'Arab dikurangi huruf 'ain, yang tinggal adalah Rab. Rab itu artinya Tuhan. Penjelasannya: melalui proses religiuisasi, universalisasi, serta transendensi dari segala tingkat budaya dan primordialitas, orang Arab tiba ke Rab. Menurut idiom Jawa: jumbuh. "Arab tanpa 'ain itu biasanya terletak paralel dengan Ahmad tan mim. Kata Ahmad dikurangi mim tinggal Ahad. Artinya: Satu, Yang Tunggal. Kata dan bahasa Arab seolah-olah sejak semula terkonsep dalam "antropologi" Islam dan Tuhan. Kalau Jawa mana bisa: kebon tanpa n kan kebo. Ratu tanpa u kan jadi tikus. Dengan itu semua sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam kasus musibah Mina yang bersalah bukanlah "orang Arab". Lebih tepat kita sebut, mungkin, ketidaksempurnaan sistem pengelolaannya, dismanajemen, sikap dumeh, atau profesionalitas tanpa imajinasi. Itulah substansinya, dan bukan "Arab"-nya. Bisa saja pada sebagian masyarakat kita, sesudah musibah ini, tergelincir dari sikap "mengagung-agungkan orang Arab" menuju "mengutuk orang Arab". Kita kan masih suka kampungan. Kalau senang sama orang, segala perilakunya kita puji. Kalau sudah benci, apa saja pun yang dilakukannya kita anggap salah. Kesadaran dan kesanggupan untuk menalar obyektif, ontologis, dan jernih, masih merupakan tradisi yang sporadis. Mentan-mentang Prabu Joyoboyo jadi pintar karena diajari oleh Syech Ali Samsu Zen dan Walisanga itu kebanyakan orang Arab, lantas kita cinta buta kepada mereka. Padahal, cinta buta itu, kalau dilukai, dibohongi dan dibokongi seperti yang dewasa ini kita alami, berubah menjadi benci buta. Sesudah dukalara musibah, disediakan oleh Tuhan pelajaran untuk tak usah menerus-neruskan kerangka superioritas-inferioritas antarmanusia, suku, dan bangsa. Salah satu yang terindah dari Islam adalah ajaran tentang kesamaan derajat. Jika suatu kelompok masyarakat bersalah, mata kita tertuju kepada obyektivitas kesalahannya, bukan pada sentimentalitas rasial yang subyektif. Inferioritas dan superioritas, dengan berbagai variasinya, itu bagaikan anggota pasukan Abrahah yang menyerbu kesejatian Ka'bah, ibadah haji dan persaudaraan muslimin maupun universal. Untunglah, perlahan-lahan pasukan Burung Ababil datang juga: melemparkan kerikil-kerikil kebenaran, kejujuran, antimanipulasi....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini