Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Nama Paulus Tannos muncul dalam sejumlah persidangan megakorupsi e-KTP.
KPK dan Kementerian Hukum mesti mengawal ekstradisi Paulus ke Indonesia dari Singapura.
Nyanyian Paulus bisa membongkar peran para politisi penerima uang korupsi e-KTP.
PENANGKAPAN Paulus Tannos bisa membuka kotak pandora dalam pengusutan kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri. Tertangkapnya buron Komisi Pemberantasan Korupsi itu dapat menuntun komisi antirasuah mengungkap kembali peran sejumlah nama dalam kasus ini, yang melibatkan banyak pihak, dari anggota legislatif dan eksekutif hingga kalangan swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga antikorupsi Singapura atau Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) menangkap Paulus pada 17 Januari 2025. Penangkapan itu didasarkan pada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Indonesia mengesahkan perjanjian tersebut lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Ekstradisi Buronan. Direktur PT Sandipala Arthaputra itu kini menjadi tahanan sementara di Penjara Changi, Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paulus resmi menyandang status tersangka pada 13 Agustus 2019. Ia diduga terlibat dalam rekayasa tender proyek e-KTP sehingga merugikan negara Rp 2,3 triliun. Lewat pertemuan dengan sejumlah pengusaha dan pejabat, Paulus menyepakati fee sebesar 5 persen. Ia membagi jatah fee tersebut kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Nama Paulus muncul dalam sejumlah persidangan sebelumnya, antara lain dalam amar putusan eks Ketua DPR, Setya Novanto, yang juga terseret perkara ini.
Saat ditangkap CPIB Singapura, Paulus mengaku sebagai warga negara Guinea-Bissau, sebuah negara di Afrika Barat. Namun Indonesia memastikan Paulus masih berstatus warga negara Indonesia saat tindak pidana korupsi e-KTP berlangsung. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Ekstradisi Buronan, pemerintah punya waktu 45 hari untuk melengkapi persyaratan administrasi ekstradisi, terhitung sejak Paulus menjalani masa penahanan sementara. Indonesia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Selama ini KPK membagi kasus korupsi e-KTP dalam tiga kluster, yakni Kementerian Dalam Negeri, DPR, dan korporasi. Paulus masuk kluster korporasi.
Sejumlah tersangka, seperti mantan anggota DPR, Miryam S. Haryani; eks Ketua Tim Teknis Penerapan e-KTP, Husni Fahmi; serta mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI, Isnu Edhi Wijaya, sudah menjalani sidang dan divonis bersalah.
Begitu pula Setya Novanto dan mantan anggota DPR, Markus Nari. Dari kalangan birokrat, ada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman, serta mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto. Dari daftar para tersangka, hanya Paulus yang belum menjalani proses persidangan. Sejak empat tahun lalu, KPK menetapkan Paulus sebagai buron.
Itu sebabnya pemerintah Indonesia mesti memaksimalkan pembuktian keterlibatan Paulus dalam perkara korupsi e-KTP. Sudah selayaknya KPK dan Kementerian Hukum mengawal proses ekstradisi Paulus ke Indonesia. Sebab, hasil pemulangannya bergantung pada putusan pengadilan Singapura, yang digelar untuk memastikan identitas Paulus, termasuk status kewarganegaraannya. Tertangkapnya Paulus juga penting untuk mengungkap transaksi dan para aktor yang terlibat. Terutama untuk melacak ke mana aliran uang mengalir dan siapa yang mengatur bancakan proyek ini.
Yang perlu disiapkan adalah kerja sama antara KPK, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum, dan Interpol melalui Kepolisian RI agar pemulangan Paulus berjalan mulus. Indonesia mesti mewaspadai berbagai upaya yang dilakukan Guinea-Bissau untuk membawa Paulus ke negara itu. Jangan sampai ada kesalahan sepele, Paulus tak bisa dipulangkan ke Indonesia.
Melihat besarnya kerugian negara, penyidikan kasus ini tidak boleh berhenti pada segelintir politikus dan birokrat yang sudah divonis bersalah. Apalagi sinyalemen keterlibatan sejumlah politikus DPR dalam kasus e-KTP sudah disebut-sebut dalam persidangan sebelumnya. Bahkan, dalam dakwaan dua tersangka, ada 60 anggota DPR periode 2009-2014 yang ditengarai menerima aliran dana proyek e-KTP.
Nyanyian Paulus bisa membongkar peran para aktor dan ke mana dana korupsi e-KTP mengalir, termasuk yang membantunya melarikan diri. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo